Dari Mana Datangnya Rasis?
Setelah Adam dan Hawa, keturunannya suka menegasikan satu sama lain. Manusia diciptakan berwarna. Namun di sisi lain, manusia ingin menjadi sewarna. Mengapa bisa begini?
Kasus tewasnya George Floyd di tangan seorang polisi --- berkulit putih --- sontak menimbulkan kegoncangan jagad kemanusiaan di muka bumi. Hal tersebut menimbulkan tanda tanya pada diri kita semua: dari mana datangnya “nafsu” rasis itu? Dari diri kita sendiri, orang lain, atau dari Sang Pencipta?
Baik, sebelum saya berlanjut ke penjelasannya, ada baiknya saya sedikit menguraikan perihal rasis atau rasisme di Negeri Uncle Sam, eeehhh Uncle Trump sana.Dipercaya, setelah terpilihnya Barack Obama sebagai Presiden Amerika Serikat kulit hitam pertama, maka sentimen rasis di negara adidaya tersebut akan berkurang drastis. Dan memang telah ada penurunan tensi di sana selama periode kepemimpinan Obama.
Namun apa lacur, masa-masa indah bulan madu kebersamaan “Yes, We can” tersebut sirna manakala Donald Trump maju ke gelanggang politik pemilihan presiden. Selama masa-masa kampanyenya, Donald Trump kerap melontarkan gagasan yang membuat banyak orang di dunia, termasuk warga negaranya, tidak menyukainya.
Bagaimana tidak, dia sering berkampanye dan men-tweet kata-kata dan kalimat yang kontroversial dan memancing antipati orang lain. Semisal isu agama, antiimigran, ras dan keunggulan ras tertentu – dalam hal ini ras kulit putih di sana. Walaupun lawannya saat itu, Hillary Clinton, diprediksi menang karena lebih bersifat akomodatif terhadap perbedaan dan berdasarkan hasil pooling, namun hasil akhir menyatakan Donald Trump tampil sebagai pemenang pemilu di Amerika Serikat. Kontroversi menang.
Kemenangan tersebut seakan menjadi legitimasi babak baru dari berlangsungnya peristiwa-peristiwa beraroma rasis di sana. Hingga puncaknya pada tewasnya George Floyd di dengkul seorang polisi bernama Derek Chauvin yang beristrikan wanita keturunan Suku Hmong, Laos. Wanita yang masih lahir di tanah leluhurnya itu.
Memang benar sang polisi itu cukup banyak mendapatkan keluhan dari masyarakat setempat berdasarkan rilis televisi ternama di Amrik sana. Pun begitu dengan George Floyd sendiri. Ia bukanlah orang yang “bersih-bersih” amat sebagaimana catatan kepolisian di sana. Ia adalah seorang mantan kriminal. Pernah dipenjara selama lima tahun. Akan tetapi rentetan peristiwa-peristiwa kekerasan oleh pihak kepolisian di Amerika Serikat terhadap ras Afrika-Amerika di sana seolah terbuncahkan dengan tewasnya George Floyd di tengah pekikan terakhirnya “ I can’t breathe.”
============================================================================
Sejujurnya peristiwa bernafaskan rasisme ini terjadi di mana saja. Di seluruh belahan dunia. Hingga ke pojok paling terpencil di ujung pelosok bumi. Di tempat saya sendiri saya pernah menyaksikan contoh tindakan rasis ini. Ambil contoh, suatu waktu saya berkeliling ke pemukiman lain di sekitar tempat saya tinggal. Sewaktu berkeliling, saya melihat ada tempelan rumah disewakan.
Sampai di situ semuanya baik-baik saja. Namun yang membuat saya terhenyak adalah catatan kaki berupa syarat dan ketentuan di pengumuman itu yang berbunyi, “ Hanya bagi yang X (mengacu pada satu agama tertentu). Begitu juga sebaliknya sewaktu saya berdarmawisata di kampung teman. Bunyi pengumuman yang mirip juga terpampang, “Untuk yang Y (merujuk pada komunitas tertentu). Masih banyak lagi contoh-contoh lain yang saya percaya kita semua tahu. Namun pura-pura tidak tahu dan menutup mata.
Banyak dari kita yang berpendidikan tinggi pun tidak benar-benar imun dari sikap rasis ini. Merasa lebih benar, tahu dan unggul dari orang lain. Suka menyamaratakan secara negatif semua orang dari kelompok tertentu walaupun mungkin yang bertindak rasis itu hanyalah oknum tertentu. Lebih suka melihat kekurangan orang lain ketimbang kelebihannya. Seribu amal baik sirna hanya karena satu kesilapan.
Hal ini persis sama dengan bunyi slogan fenomenal dalam dunia jurnalistik: bad news is good news. Berita buruk lebih menjual. Dan otak pun lebih cepat terangsang dengan berita-berita sensasional dan kontroversial.
Jika ditelusuri lebih dalam, rasa superioritas suatu kaum atas kaum lainnya adalah faktor terbesar munculnya sikap rasisme di manapun. Hal ini bisa berasal dari kultur setempat. Bisa juga bersumber dari keyakinan maupun ajaran agama yang dipeluk manusia. Bukankah di setiap agama selalu kita dengar “keeksklusifan” agama tersebut dibanding agama yang lain. Ada agama yang berasal dari wahyu. Ada juga yang berasal dari pencarian kebatinan pribadi. Masing-masing mengklaim kebenarannya. Bahkan ada agama yang masih dalam satu rumpun, masih berbeda tajam dalam penyampaian dan penafsirannya.
Memang benar manusia diberikan semacam free will--- kebebasan untuk menentukan sikap dan pilihan berdasarkan pertimbangan pribadi --- namun tidak bisa tidak sebagian besar manusia masih bertekuk lutut dengan dogma agamanya ketimbang bernalar dalam hal tindakan membedak-bedakan ini.
Pendek kata, bagi saya, rasis adalah pemikiran dan tindakan yang membeda-bedakan antara satu manusia dengan manusia lain berdasarkan dorongan dari dalam dan luar diri seseorang yang merupakan salah satu bagian dari DNA manusia.
Sejatinya manusia diciptakan berwarna, tidak seragam agar dunia bisa kelihatan lebih indah. Lihatlah Adam dan Hawa. Namun entah bagaimana, manusia-manusia selanjutnya kerap saling menegasikan satu sama lain. Entah karena kepentingan pribadi, golongan, ideologi ataupun agama. Jika manusia diciptakan berwarna, lalu kenapa ada sikap-sikap rasis itu? Dari mana asalnya?
Pertanyaan yang lebih mendasar adalah benarkah kita semua rasis, benarkah sifat rasis ini manusia dapat dari Sang Pencipta-NYA? Jika tidak, lalu dari mana?
Tertarik dengan bacaan motivasi? Baca di sini.