foto pribadi
Hi, teman-teman pembaca setiaku!
Jumpa lagi denganku dan tulisanku. Kali ini tulisanku berupa cerpen. Cerpennya berkisah seputar roda kehidupan para pegiat literasi di negeri ini. Mohon doa dan dukungan finansialnya yaaaa agar mereka bisa bertahan menulis mewartakan berita bagus, menarik dan inspiratif. Hehehe…maaf kalau saya langsung to the point, ya!
Segala tokoh di dalam cerita ini adalah fiktif semata. Jikapun ada kemiripan di sana-sini itu semua hanya kebetulan belaka.
Selamat membaca dan semoga menikmatinya. Jangan lupa bagikan ke teman-teman yang lain dan minta mereka untuk BERLANGGANAN melalui email masing-masing. Berlangganan GRATIS.
==========================================================================
Baiklah, begini ceritanya Tuan dan Puan,
Aku yakin semua orang pasti ingin hasil yang bagus dalam setiap proses perjalanan hidupnya. Jika berhasil, aku, kamu dan kita semua tentunya berhak mendapat ganjaran yang pantas. Aku pastinya senang. Kamu dan kita semua juga, kan?
Namun, aku heran jadinya ketika aku tahu ada teman yang berani menolak suatu penghargaan bergengsi. Sekelas anugerah. Dari negara pula. Sontoloyo.
“Lae Dapot, kok kau tolak penghargaan dari negara itu, kek mananya kau ini?”
“Ahhh, biarlah situ Lae, Pol. Tak sudi aku. Mentang-mentangnya kulihat negara ini.”
“Maksudmu kek mananya. Kan pantas kau dapatkan itu, kau kan dah jago dalam menulis?”
“ Dang adong hubunganna tu si lae (Gak ada hubungannya ke situ, lae).”
“Bahhhh.”
Hari berlalu. Di antara pergantian hari demi hari setelah percakapan kami itu, baru kutahu penyebab temanku tak sudi menerima penghargaan itu. Penghargaan sekelas anugerah selevel Nobel, menurutku.
Bisa kusimpulkan memang negara ini terlanjur beronani ria dengan pikirannya sendiri. Asyik sendiri dengan pikirannya. Kerap membayangkan sesuatu itu akan berjalan mulus sesuai dengan yang diinginkannya. Dengan caranya sendiri. Untuk akhirnya klimaks dengan isi pemikirannya tersebut. Tanpa mau melihat dan mendengar langsung realita di lapangan secara sungguh-sungguh. Jika pun turun ke lapangan, kebanyakan hanya bersifat seremonial belaka. Basa-basi semata.
Persoalannya bukan semata soal nilai uang yang “dianugerahkan” yang sebesar Rp 100 juta itu. Namun ketidakseriusan pemerintah dalam mengurus ihwal literasi di negara ini. Terlampau banyak janji-janji manis yang berakhir pahit dan getir di tangan para pelaku literasi sekaligus seni di negara ini. Hingga menimbulkan pesimisme di hati sebagian besar pelakonnya.
Temanku itu boleh kubilang telah sampai pada titik hikmat kebijaksanaan dalam menyikapi makna pemberian anugerah tersebut, sehingga ia memutuskan menolak menerimanya. Bukan untuk gagah-gagahan. Namun, ada pesan mendalam yang dibawanya.
Jika ia hanya mementingkan dirinya semata, mungkin ia akan senang hati dan tersenyum lebar menerima penghargaan itu. Ia tidak seperti itu. Hingga suatu hari kami bertemu lagi dan berlanjut membicarakannya tanpa tahu mengapa bisa membicarakan itu lagi.
“Coba kau bayangkan, kenapa pula harus aku yang menanggung pajaknya? Apa pemerintah gak punya uang buat nanggung pajak itu?”
“Jadi, maksud lae itu semua gara-gara pajak?”
“Ya, enggaklah. Itu cuma bunga-bunganya saja. Bunga-bunga yang menunjukkan ketidakberpihakan pemerintah sama kami-kami ini, penulis dan seniman.”
“Jadi, kalo kek gitu, apalagi yang lain?” tanyaku.
“ Lae tahu Dede Liye?”
“ Iya, tahu.”
“ Dia sudah gak nulis lagi gara-gara pajak tulisannya terlalu tinggi. Dia kan banyak nulis novel. Pajaknya itu sampai threesome segala. Ngeri gakkk?”
“Iya memang sudah lama juga dia gak nulis lagi. Bahhh…threesome lae bilang, apa pula itu?”
“Itu lohhh…istilah dewasa punya. Satu laki, dua cewek.”
“Ohhh…itunya maksud, lae. Hahahaha…ada-ada saja laeku ini. Lantas, apa kaitannya dengan pajak threesome?”
“Ya, iya. Tiga kali dia kena pajak atas satu novel.”
“Age tahe jo. Porsuk ni na manurat-nuraton ate (Ya, ampun. Ngerinya nasib yang menulis ini, ya!”
Memang benar, pemerintah tidak serius membenahi dan mengayomi dunia literasi, penulis dan seniman meskipun pekerjaan tersebut sudah disebut profesi. Belum ada keseriusan yang nyata. Aku pernah membaca sitiran Don Lestari S, penulis Filosofi Kopiku itu perihal potongan pajak atas sebuah buku. Ia mengatakan, ide dari sebuah tulisan hanya dihargai 10% dari 100% harga banderol buku. Dan yang lebih miris lagi adalah 10% itupun harus dipotong lagi sebesar 15% oleh negara alias potongan pajaknya menjadi supernetto.
Ketidakberuntungan dunia kepenulisan ini makin dirunyamkan lagi oleh adanya razia buku secara sepihak, baik oleh oknum-oknum pemerintahan maupun nonpemerintahan seperti yang terjadi di Mogyakarta, Bakassar dan berbagai tempat lainnya.
Selain itu, aku juga pernah membaca di sebuah suratkabar tentang pembajakan buku yang masif. Pemerintah masih belum hadir dengan serius untuk menanganinya. Betul-betul terpuruk memang nasib penulis dan karya-karya yang mereka hasilkan dengan susah payah itu. Sudahlah miskin (secara harta), diteror pula lagi. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula lagi. Sial kuadrat rasanya.
Mengetahui cerita temanku itu, aku juga jadi kesal dan resah. Sebab aku tahu pasti untuk menghasilkan sebuah karya tulis yang bagus membutuhkan keahlian dan pengorbanan yang besar. Sebutlah uang untuk membeli buku dan bahan referensi lainnya. Latihan yang panjang untuk melatih keahlian menulis melalui serangkaian seminar ataupun workshop. Waktu menyendiri dan riset yang harus mengorbankan banyak waktu yang lain demi menghasilkan karya yang bermutu. Masih banyak lagi. Aku tahu itu karena aku melihat langsung proses terciptanya karya bagus temanku itu.
Teringat program Presiden Joko Wiseso perihal literasi di Tanah Air, aku ingin mengajukan pertanyaan sederhana. Begini. Bapak Presiden Joko Wiseso yang terhormat, bagaimana caranya Bapak bisa memastikan program peningkatan sumber daya manusia bangsa ini akan bisa tercapai dalam lima tahun ke depan manakala infrastruktur dasarnya, dalam hal ini dunia kepenulisan dan penulisnya, sendiri masih terseok-seok dan luntang-lantung tidak karuan?
Premisnya sederhana: Jika suatu bangsa ingin maju, maka seluruh warga negaranya harus rajin membaca dan menulis. Jika penulisnya tidak ada, lalu apa yang akan dibaca? Akankah tujuan mulia pemerintah itu tercapai dalam lima tahun ke depan? Akankah program pengiriman buku bulanan ke seluruh pelosok negeri berjalan lancar? Akankah tingkat literasi bangsa ini bisa terkerek naik dari angka 0,001 sebagaimana rilis dari UNESDO?
Lalu, akankah pemerintah terus-menerus beronani pikiran dan bertepuk sebelah tangan dengan rangkaian penolakan anugerah-anugerah lainnya?