Meriuhkan Rumah Belajar dari Kesenyapan
Selalu ada solusi bagi pendidikan yang bermakna. Cobalah...
Hi, para pembaca setia ceritaku, apa kabar? Semoga kita tetap sehat-sehat saja, ya! Berikut saya kirimkan tulisan saya seputar alternatif belajar dalam jaringan (online) di tengah-tengah mewabahnya pandemi COVID-19 sekarang ini. Mudah-mudahan informasi yang tersaji dalam tulisan ini bisa membantu kita bersama.
Jangan lupa untuk berbagi situs ini ya! Terima kasih.:)
============================================================================
Tampaknya definisi belajar di era disrupsi saat ini tengah mengalami pergeseran. Belajar tidak lagi dimaknai secara konvensional: tatap muka dan ceramah. Belajar dan media pembelajarannya pun telah bertransformasi. Dari model tradisional di kelas menuju platform berbasis digital ataupun maya berlangsung di mana saja dan kapan saja.
Lalu, apa konsekuensinya? Terang saja, semua pihak yang terlibat di dunia pendidikan harus mau berbenah dan mengadaptasi diri dengan ekosistem pendidikan yang baru tersebut. Suatu hal yang terbilang tidak mudah.
Berita seputar kegamangan peralihan model dan media pembelajaran ini pun mendapat perhatian khusus dari Marc Prensky, penulis buku Digital Game-Based Learning (2001) di mana ia menuliskan adanya dua terminologi yang menggambarkan disparitas melek teknologi antara guru (digital immigrants) dan siswa milenial saat ini (digital natives).
Sebagaimana dijabarkan dalam buku tersebut bahwa kelompok digital immigrants --- yang kerap disebut Generasi X (37-51 ---tampak tertatih-tatih menghadapi dan menangani kepiawaian golongan Generasi Z (di bawah usia 30 tahun) dalam mengeksekusi piranti-piranti digital dalam keseharian belajar mereka. Apapun bentuknya.
Apa penyebabnya? Para Bapak/Ibu guru tersebut berasal dari masa di mana teknologi masih belum secanggih saat ini. Sementara paras siswa sekarang lahir dan besar di tengah limpahan kecanggihan dan kekayaan teknologi digital. Para siswa ini adalah pemakai aktif teknologi, sedangkan para gurunya adalah pengguna pasif, jika tak mau disebut pemakai terpaksa.
Maka, tidaklah heran jika kita sering mendengar larangan tidak boleh membawa dan memakai gawai ke sekolah ataupun di ruang kelas. Jika pun dibawa atau dipakai, tentu harus seizin guru yang bersangkutan. Itu mutlak. Namun saya menduga, hal ini barangkali hanya siasat dari para pendidik yang memang masih belum terbiasa dengan pemakaian teknologi di ruang kelas.
Saya tahu ada banyak orang yang protes dengan pernyataan saya di luar sana. Saya juga tahu ada tujuan mulia di balik larangan penggunaan gawai di ruang kelas: supaya pembelajaran lebih fokus dan terarah. Tapi, mari jangan menutup potensi pembelajaran termutakhir yang ditawarkan oleh kemajuan zaman. Bukankah segala sesuatunya akan berubah sesuai masanya, sebab perubahan itu adalah konstan sebagaimana dikatakan oleh Heraclitus, filsuf kenamaan Yunani kuno itu?
Meriuhkan Rumah Belajar
Terkait digitalisasi pembelajaran, kehadiran bimbingan belajar dalam jaringan seperti Ruang Guru telah memberikan warna tersendiri di jagad pendidikan republik ini. Kehadirannya telah cukup banyak membantu para siswa dan guru dalam proses belajar dan mengajar.
Gegap gempita bimbel online ini di 32 dari 34 provinsi di Indonesia adalah bukti nyata respons positif pemerintah dan masyarakat kita terhadapnya. Namun, menyitir tulisan Riduan Situmorang, kehadiran bimbel ini belum sepenuhnya menyelesaikan masalah carut-marut pendidikan kita, terkhusus di segi pembiayaan. Sebab, tanpa mengurangi ide mulia di balik pendiriannya, bimbel ini tidaklah berbeda dari bisnis-bisnis lain pada umumnya: mencari laba.
Sebenarnya, jika dilihat dari perspektif bisnis yang berorientasi keuntungan, maka apa yang dilakukan oleh Ruang Guru dengan menampilkan iklan dan acara bincang-bincang yang mewah dan meriah di seputar ulang tahunnya, adalah hal yang wajar. Kegiatan tersebut juga bisa dimaknai sebagai acara memperluas jaringan dan layanan mereka kepada para penggunanya.
Dan untuk menjawab kerisauan Riduan Situmorang dan mungkin juga masyarakat yang lain akan tersedianya layanan sejenis yang nonprofitable, khusus untuk pengabdian dan edukasi, saya bisa katakan dengan gamblang bahwa aplikasi pembelajaran daring sejenis Ruang Guru besutan pemerintah sudah hadir. Aplikasi ini bernama Rumah Belajar.
Aplikasi ini hadir sejak 2011. Ada di seluruh pelosok negeri. Fitur-fitur layanannya pun cukup lengkap dan interaktif, mencakup keseluruhan kebutuhan guru dan siswa. Materi-materi pembelajarannya pun dapat diunduh dan digunakan secara luring (offline). Layanan ini pun gratis sebagaimana kita bisa mengaksesnya di laman belajar.kemdikbud.go.id.
Jadi, tak perlu lagi kita menanti “Ruang Guru” versi pemerintah karena ia sudah hadir di depan kita: Rumah Belajar. Permasalahannya adalah mengapa aplikasi Rumah Belajar ini terlihat “senyap” dibanding Ruang Guru yang tampil gegap gempita dan riuh?
Apakah semata-mata kekurangan dana iklan jor-joran di televisi dan media massa? Perlukah pemerintah meniru apa yang dilakukan Ruang Guru? Jika kita memakai perspektif ATM (amati, tiru dan modifikasi) tentu ide tersebut layak dicoba. Namun satu yang pasti, hal ini menjadi informasi penting bagi pemerintah bahwasanya sosialisasi Rumah Belajar ini belum menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Ini menjadi sisi negatif.
Sisi positifnya, aplikasi ini telah cukup banyak membantu saya dan masyarakat lainnya. Tak kalah dengan Ruang Guru. Bahkan ada kelebihannya. Untuk itu, tak ada kata terlambat untuk belajar dan menjadi tahu.
Bisa dikatakan kehadiran Rumah Belajar adalah oase masalah akses pembiayaan pendidikan dan keterjangkuan pendidikan di seluruh pelosok negeri tanpa batas. Sebab ia tidak hanya bisa diakses secara online namun juga offline.
Karena itu, mari sama-sama menggelorakan pemakaian Rumah Belajar sebagai media dan sumber belajar baru berbasis digital. Rumah Belajar: Belajar untuk semua. Ada 20 persen anggaran di APBN yang di antaranya bisa dialokasikan ke layanan ini agar tampil lebih maksimal menjangkau ke seluruh wilayah di Indonesia.