Gairah atau hasrat identik dengan keinginan. Setiap makhluk hidup di dunia memilikinya. Tanpa gairah hampa segalanya. Hidup dan kegiatan tak lebih dari sekadar rutinitas belaka.
Gairah, bagi profesi guru, adalah bahan bakar yang harus terus diisi ulang agar senantiasa mampu menjalankan jiwa pengajaran dan pendidikan yang diembannya.
Lalu, pertanyaannya adalah bagaimana caranya mengisi ulang bahan bakar tersebut? Guru mestilah menganggap bahwa profesinya adalah investasinya, bukan sekadar pekerjaannya. Saya lebih menitikberatkan investasi bukan pekerjaan karena investasi memunyai makna lebih luas, jangka panjang, berkelanjutan dan merupakan aset hidup yang sangat berharga dan harus terus dijaga serta dikembangkan.
Begitu sebaliknya dengan institusi atau pihak-pihak pemberi kerja kepada profesi guru ini. Mereka juga harus menempatkan sosok-sosok pendidik dan pengajar ini sebagai aset paling berharga mereka. Bukan menganggapnya sebagai pekerja secara umum, atau bahkan, maaf, buruh yang mungkin bisa datang dan pergi begitu saja dan kapan saja.
Tolok Ukur
Diskursus tentang guru profesional ini memang bukan hal baru. Namun ia juga belum begitu lama bergaung. Pekerjaan ini memasuki fase profesionalitasnya medio 2005, tepatnya ketika UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen terbit. Inilah tolok ukur dan awal mula profesi ini mendapat pengakuan sejajar secara legal-formal sebanding dengan profesi dokter, pengacara dan yang lainnya.
Semenjak itu, para pelita bangsa ini menjadi profesional-profesional yang dalam menjalankan profesinya sebagai sumber kehidupannya memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.
Itulah sebabnya mengapa sekarang ini guru juga kerap disebut pendidik profesional, yang memunyai tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Profesi yang juga menuntut pengembangan diri dan profesional secara berkesinambungan melalui berbagai program pelatihan dan peningkatan karir dan akademis.
Bersebab dari hal tersebutlah mengapa para guru tidak hanya sekadar memertahankan ilmunya, para guru juga senantiasa dituntut untuk terus memerbaharui ilmu yang dipunyai, terbuka kepada perubahan-perubahan dalam dunia kependidikan dan teknologi serta terus-menerus mengikuti perkembangan zaman sebagai modal awal menuju guru yang aktif, kreatif, inovatif, dan inspiratif guna menghasilkan generasi emas para pembelajar negeri ini.
Guru Idaman
Agar para guru senantiasa bergairah, maka mereka haruslah memiliki motivasi yang selalu tinggi, baik secara intrinsik (dari dalam) maupun ekstrinsik (dari luar).
Secara intrinsik, seorang guru harus tetap memiliki nyala api semangat yang membara dalam keseharian hidup profesinya. Seorang guru harus tetap mengeluarkan energi diri yang positif terkait profesinya.
Secara pribadi, para guru harus terus memerbaharui diri dengan berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.Ini memang tidak mudah di tengah-tengah kondisi sebagian besar masyarakat Indonesia yang masih menganggap sebelah mata profesi ini, terlepas sudah ada payung hukum yang menaunginya. Belum lagi adanya disparitas penghasilan yang menganga di antara para guru. Begitu juga dengan masih adanya perlakuan diskriminatif terkait proses sertifikasi para guru. Di sinilah tantangannya.
Secara ekstrinsik, seorang guru harus mau mengasah dan memerbaharui kompetensinya. Guru harus mau dan menerima segala masukan demi perbaikan kompetensi mereka. Kegiatan ini umumnya dilakukan secara institusional, baik oleh pemerintah maupun pihak swasta (yayasan pendidikan) di mana mereka harus terus memerhatikan dan memenuhi kebutuhan pengembangan diri profesional, karir dan sosial para gurunya secara imparsial terkait kebutuhan siswa dan perkembangan zaman.
Tentunya ada ekspektasi dan umpan balik yang diharapkan dari serangkaian aplikasi motivasi secara intrinsik dan ekstrinsik tersebut. Ekspektasinya adalah para guru bisa menjadi sosok idaman yang menyenangkan, interaktif, eksploratif, sistematis, melek teknologi, mandiri, bisa tampil dengan cita rasa yang berbeda dibanding sebelumnya, buku-buku ajar yang berkualitas, isi materi pembelajaran yang lebih kaya, menarik, terstruktur, sistematis, masif dari segi sumber, dan yang tak kalah pentingnya adalah pendekatan yang dipakai, yaitu pendekatan ilmiah.
Minimalisasi Beban Administrasi
Sudah menjadi rahasia umum bahwa sebagian besar guru-guru mengeluhkan beban administrasi sekolah yang dirasa berlebihan, antara lain menjadi “jurubicara” uang sekolah siswa, menjadi operator kegiatan-kegiatan sekolah yang terlalu padat dan dalam waktu yang berdekatan (semisal pentas seni, festival-festival, aneka kompetisi dan lain-lain), pembuatan RPP tahunan (perlu penyederhanaan halaman dalam pembuatan RPP) dan jam mengajar yang terlalu padat (jam mengajar mungkin bisa menjadi 6 jam pelajaran saja sehari, selebihnya digunakan untuk pengembangan diri guru dan siswa).
Barangkali masih ada faktor-faktor lain yang bisa memengaruhi gairah guru dalam mendidik para siswanya. Namun setidaknya, apa yang penulis sampaikan di atas kiranya bisa menjadi gambaran bagi pengambil kebijakan untuk menelurkan kebijakan holistik yang dapat mengakomodir kepentingan semua pihak, terutama guru agar guru-guru Indonesia bisa tetap bergairah dalam memberikan pendidikan yang terbaik bagi nusa dan bangsa.