Manusia Berpikir, Tuhan Tertawa
Emang enak ditertawain....sakitnya tuhhh...di sini tahu... hehehe
Czech at Night
Ganjil rasanya jika manusia berpikir lalu Tuhan menertawakan pikiran itu karena manusia sudah dibekali pikiran tak terbatas yang harus dia pergunakan dan kembangkan sebagai sebuah anugerah, sebab manusia dibuat segambar dengan diri-NYA.
Di dalam tulisan yang berbasis aplikasi agama dalam keseharian ini adalah sebuah hal yang tidak mudah membicarakan sekaligus mencari tahu apa sebenarnya penyebab keruwetan kita beragama dan mengapa pula sampai muncul ide manusia berpikir, Tuhan tertawa. Apakah hal tersebut sebatas kita maknai sebagai sebuah tragedi atau komedi belaka?
Saya sebut tragedi atau komedi karena keduanya seakan tak terpisahkan. Agama mengandung keseriusan (iman) sekaligus tanda tanya (saya lebih suka menyebutnya kelucuan). Mengapa? Sebab menurut saya ada kegetiran dalam keseriusan beragama dan pada saat yang bersamaan ada kelucuan di dalam praktik keseriusan tersebut.
Dalam implementasinya, isu seputar agama ini boleh dikata bagai sebuah objek yang patut terus-menerus diperbincangkan keberadaannya. Ibarat gadis, ia memesona luar dalam. Ada inner dan outer beauty-nya. Ibarat pria ia menampilkan aura kharisma yang sangat luar biasa pengaruhnya, batiniah dan lahiriah.
Namun kita belum (tak) mampu memilikinya seutuhnya. Hanya sebatas luarnya saja. Kita masih berkutat di seputar dogma atau doktrin yang disampaikan kepada kita. Kita masih belum terbiasa menanyakan kenapa bisa begini, kenapa bisa begitu dalam praktik beragama kita yang beragam, tidak hanya internal namun antaragama. Masih ada misteri yang melingkupinya. Sangat dalam. Misteri inilah yang kerap membuat kita menjadi berselisih paham memaknainya.
Apakah ini yang dinamakan iman itu? Atau apakah ini karena keterbatasan daya pikir kita? Jika benar, lalu bagaimana cara kita menerjemahkan firman-NYA yang mengatakan bahwa manusia segambar dengan DIA?
Komedi atau Tragedi?
Secara etimologi, agama diartikan adanya keharmonisan alias tidak kacau-balau. Namun kenyataannya, teramat sering kita melihat pertikaian yang mengatasnamakan agama itu sendiri di berbagai tempat dan waktu.
Apa artinya kita memiliki agama jika kita dengan sadar melanggar prinsip-prinsip dasar yang terkandung di semua agama? Cinta kasih, saling menyayangi, menghormati, dan menghargai hidup dan kehidupan adalah contoh-contoh praktik ajaran agama yang harus dilaksanakan oleh segenap pemeluknya tanpa terkecuali.
Lalu, ada apa sebenarnya dengan agama? Kenapa seakan-akan orang menjadi takut berdiskusi seputar agama? Bukankah agama itu berarti tidak kacau-balau sesuai dengan etimologi katanya? Hal-hal inilah yang antara lain menjadi pertanyaan mendasar seputar agama.
Oleh karena bahasan mengenai agama adalah diskursus yang sangat reseptif dan berpotensi besar menimbulkan distorsi informasi di benak para penganut ajaran agama apabila disampaikan oleh pihak luar, maka untuk tujuan tersebut sangat cerdaslah apa yang disuguhkan oleh Rajkumar Hirani dalam filmnya yang berjudul “PK,” dibintangi oleh aktor berbakat India, Aamir Khan. Film yang mengetengahkan kegetiran dan kelucuan sekaligus.
Rajkumar Hirani dengan piawainya berhasil mengejawantahkan kerisauan, kegelisahan, kegalauan, ketakutan sekaligus keingintahuan seluruh umat manusia perihal agama dan segala partiturnya melalui pandangan entitas di luar manusia, tepatnya melalui anasir alien.
Alkisah, dengan piring terbangnya mendaratlah sesosok alien dari planet lain di alam semesta di Gurun Thar, Rajasthan, India. Sang alien datang ke Bumi dengan tujuan mengadakan riset seputar manusia dan kehidupannya karena kaumnya terkejut bisa menemukan makhluk lain di alam semesta yang menyerupai mereka.
Sang alien, sebagaimana pola hidup di planet asalnya, awalnya tiba di Bumi layaknya seorang bayi lahir ke Bumi, tanpa sehelai benang pun yang melekat di tubuhnya. Hanya ada satu benda yang tergantung di lehernya, yaitu sebuah remote control penghubung dirinya dengan pesawat luar angkasanya.
Dan anehnya lagi, dia berkomunikasi secara telepati karena dengan telepatilah kaumnya bisa terhindar dari kerancuan, kebingungan dan kerancuan ucapan dengan tindakan.
Ketegangan dan kelucuan misi riset tersebut berawal ketika seorang manusia yang pertama melihatnya ---- menduga dia adalah seorang yang tidak waras dan idiot --- mencuri kalung remote control yang menggantung di lehernya.
Dalam pencarian kalung tersebut, dia bertemu sekelompok pemusik yang bersedia menampungnya. Dan dalam pengasuhan grup pemusik tersebut dia akhirnya bisa memelajari dan berkomunikasi dalam bahasa setempat setelah ia bertelepati dengan seorang tunasusila. Dan melalui kemampuan berbicaranya itu, ia diberitahu bahwa hanya Tuhanlah yang tahu di mana kalung remote control-nya berada.
Karena ia diberitahu hanya Tuhan yang tahu di mana letak keberadaan remote control-nya, maka dia pun bertanya-tanya Tuhan di agama yang mana dan di mana Tuhan itu berada. Dia menyaksikan, baik orang-orang yang sama maupun berbeda warna kulitnya pun melaksanakan ritual agamanya secara berbeda pula. Di vihara-vihara, mesjid-mesjid, gereja-gereja dan tempat ibadah yang lain para umatnya melaksanakan praktik-praktik yang juga berbeda, seperti membakar lilin, berguling-guling di tanah, mencambuk diri, meminum anggur, berendam di sungai, menyembah simbolisasi Tuhan berupa patung, dan sebagainya. Tuhan yang mana yang manusia sembah?
Bahkan dia pun kerap bertanya bagaimana para manusia mendapatkan agamanya. Apakah tanda agama itu sudah ada dibawa sejak lahir atau manusia hanya sekadar menjalankan tradisi turun-temurun. Begitu ingin tahunya, PK pergi ke rumah sakit untuk membuktikan apakah memang tanda agama itu sudah “distempelkan” pada bayi-bayi yang baru lahir. Jawabnya adalah tidak ada tanda sama sekali!
Karena tidak menemukan jawaban akhirnya ia memutuskan untuk menjalankan semua ritual dari agama yang berbeda-beda. Dia ikut membakar lilin, mandi di sungai, mencambuk diri, minum anggur, berguling-guling di tanah dan sebagainya.
Bukankah semua tindakan yang dilakukan PK itu adalah bentuk tragedi sekaligus komedi akan pencarian anasir yang disebut Tuhan itu, sebagaimana yang juga dilakukan oleh manusia-manusia beragama di alam nyata ini? Itupun jika dunia yang kita tempati ini benar-benar alam nyata bukan panggung sandiwara sebagaimana dinyanyikan oleh God Bless?
Jika Anton Chekov mengatakan puncak tragedi adalah komedi (sebab dalam setiap kepedihan tragedi ada sesuatu yang pantas ditertawakan), akankah agama itu nantinya berakhir menjadi komedi belaka sebagaimana ditegaskan oleh Milan Kundera dengan pernyataannya Man thinks, God laughs? Kenapa Tuhan menertawakan manusia yang mencari tahu penyebab keruwetan beragama melalui pikirannya? Benarkah ide causa prima itu hanya milik-NYA semata? Benarkah otak manusia, yang dikatakan belum sampai 10 persen penggunaannya, punya keterbatasan?
Oleh karena berbagai inkonsistensi seputar agama yang terpampang di hadapan kita, salahkah apa yang dikatakan oleh filsuf Jerman Nietzche bahwa Tuhan telah mati ? Lalu, apa pula pendapat Anda terkait film humor (komedi) dan tragedi The God Must be Crazy dan Passion in Christ?