Internet
Luas perairan (samudera) dunia adalah 3/4 dari keseluruhan permukaan Bumi. Begitu juga halnya di Indonesia. Di satu sisi, luasnya lautan tersebut tentu saja adalah anugerah tersendiri bagi negara ini. Namun di sisi yang lain hal ini bisa berdampak bencana bagi kemanusiaan.
Tentu saja sebagai anugerah dari Yang Maha Kuasa, fakta ini mendatangkan rezeki dan merupakan sumber penghasilan tersendiri bagi banyak pihak, sebutlah semisal nelayan, industri, pelaku wisata, pekerja pelabuhan dan lain sebagainya.
Tak pelak lagi lautan Indonesia adalah sumber nafkah hidup bagi jutaan manusia penghuni kepulauan Nusantara ini, termasuk juga pihak-pihak asing. Dengan begitu melimpahnya kekayaan laut beserta isinya, banyak pihak yang telah melakukan tindakan ilegal di perairan Indonesia, antara lain pencurian ikan.
Bahkan, beberapa waktu lalu Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, pernah menerangkan total kerugian negara per tahunnya dari salah satu subsektor laut ini, yaitu ikan tidak kurang dari Rp 300 triliun, angka yang cukup untuk membangun ratusan unit sekolah dan puluhan kilometer jalan tol di Indonesia.
Namun, barangkali, cerita tentang gurihnya lautan Indonesia itu tidak akan bertahan lama manakala kita tidak memiliki sistem dan perencanaan pengelolaan lingkungan laut yang komprehensif, terpadu, terintegrasi dan menyentuh seluruh pemangku kepentingan guna menghadapi tantangan massif kerusakan laut skala besar yang tengah menghadang di depan mata, yaitu bahaya sampah plastik!
Tantangan dan Solusi
Salah satu bentuk tantangan permasalahan lingkungan yang tengah dihadapi dunia, termasuk Indonesia adalah makin meluasnya sebaran limbah plastik di masyarakat. Ada ribuan, bahkan jutaan ton sampah plastik yang berakhir di lautan tanpa bisa terurai. Tentu hal ini bermuara pada rusaknya ekosistem laut akibat paparan berton-ton sampah plastik yang mengotorinya.
Adalah fakta bahwa seluruh negara di dunia menghasilkan sampah plastik hingga 1,3 miliar ton setiap tahun. Merujuk data yang dirilis Bank Dunia, jumlah ini bertambah hingga 2,2 miliar ton pada tahun 2025. Dan dalam rentang waktu 50 tahun terakhir, secara global produksi dan konsumsi plastik terus meningkat. Diperkirakan 299 juta ton plastik diproduksi pada 2013, di mana lima puluh persennya adalah untuk keperluan pribadi sekali pakai.
Disadari atau tidak, dari data tersebut diasumsikan satu dari lima sampah plastik yang ada berakhir di lautan. Ketika seseorang memesan makanan atau berbelanja, jamak dalam pemandangan bahwa mayoritas wadah yang dipakai adalah plastik (kantongan) atau berbahan plastik. Dan biasanya, kita sering membuangnya secara sembarangan, termasuk ke parit-parit atau selokan sekitar kita. Walhasil, segala bentuk kesembronoan dan kemudahan pribadi ini berdampak merusak lingkungan, terutama lingkungan laut karena muara dari segala sampah plastik tersebut adalah ke lautan bebas.
Referensi lain menyatakan, 10 hingga 20 juta ton sampah plastik mencemari lautan setiap tahun. Rilis dari sebuah studi baru memperkirakan bahwa sekitar 5 triliun partikel plastik dengan berat total 268.940 ton mengapung di lautan saat ini. Polutan ini menghasilkan kerugian sekitar 13 miliar dolar setiap tahun, mulai dari kerusakan ekosistem laut hingga wisata alam. Ribuan hewan seperti burung laut, anjing laut, paus, kura-kura, lumba-lumba mati akibat memakan atau terjerat sampah plastik. (www.lingkunganhidup.com)
Yang sangat mencemaskan dan terbilang sangat berbahaya dari permasalahan sampah plastik sekarang ini adalah Indonesia menempati posisi kedua terbesar dunia sebagai negara yang paling banyak polutan lautnya, mendekati angka 1,3 juta ton setahunnya. Jika tidak ditangani secepat mungkin, maka diprediksikan pada tahun 2050 akan lebih banyak partikel plastik daripada ikan itu sendiri di lautan.
Dari beberapa sumber disebutkan bahwa bahaya derivasi lain dari plastik ini adalah mikroplastik. Mikroplastik adalah partikel yang besarnya tidak lebih dari 1mm yang berasal dari bahan baku pakaian dan kosmetik. Efek yang ditimbulkan pun tak kalah berbahayanya. Bayangkan saja ikan, kerang-kerangan, remis, dan tiram yang kita konsumsi ternyata mengandung partikel plastik tersebut, bersebab hewan-hewan tersebut telah terlebih dahulu menelannya.
Oleh karena itu, penyuka sajian ikan laut sebaiknya perlu waspada. Riset yang dilansir jurnal Nature pada 2015 mendapati banyak ikan laut terkontaminasi limbah plastik. Riset tersebut mengambil sampel dari ikan yang dijual oleh pasar-pasar di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, dan Califonia, Amerika Serikat. Hasilnya, kedapatan butiran plastik di usus ikan sampel dari pasar tersebut, sementara dalam ikan asal pasar California ditemukan plastik berbentuk serat dengan kadar sampai 80 persen. (Kompas, 5/4/2017).
Efek lanjutan dari kerusakan dan kehancuran ekosistem laut ini adalah terancamnya industri wisata bahari Indonesia. Untuk itu Indonesia harus bekerja keras guna mengatasi persoalan ini jikalau ingin program kunjungan wisatanya berhasil.
Sebagaimana kita ketahui bersama, beberapa tempat dari 10 destinasi unggulan Presiden Jokowi adalah berbasis air, sebut saja Danau Toba, Labuan Bajo, Pulau Morotai, Tanjung Kelayang, Waktobi, Pantai Tanjung Lesung, dan Kepulauan Seribu. Lokasi-lokasi tersebut adalah tempat-tempat yang terancam rusak oleh limbah plastik jika tidak mendapat penanganan yang serius dari berbagai pihak.
Kita perlu mahfum bahwa para wisatawan, baik lokal maupun mancanegara, tidak akan mau dan bersedia menikmati keindahan alam laut Indonesia, seperti berjemur di pantai, berenang dan menyelami keindahan bawah laut Indonesia jika mereka menemukan sampah plastik. Selain merusak pemandangan, sampah plastik juga berbahaya bagi kesehatan fisik.
Sebagai salah satu negara yang berkomitmen dalam sustainable development goals pada poin 14 dari 17 kesepakatan (life below water) Indonesia perlu memastikan adanya kerjasama kolaboratif dan saling menguntungkan antara berbagai elemen yang melibatkan lintas sektoral (pemerintah, dunia usaha dan masyarakat sekitar) dari proses perencanaan, eksekusi dan evaluasinya demi kesuksesan agenda ambisius ini.
Langkah sederhana proses penyelamatan lingkungan laut ini adalah dengan memulai pola hidup memakai bahan baku daur ulang, membiasakan buang sampah pada tempatnya (bukan ke sungai atau laut), memilah-milah sampah organik dan anorganik, menggalakkan bank serta asuransi sampah serta membawa kantongan belanja berbahan non plastik dari rumah serta memberi pemahaman yang baik bagi anak-anak kita tentang bagaimana mengelola sampah.
Pengalaman penulis selama berada di Eropa, tepatnya di Republik Ceko, seluruh warga di negara tersebut memilih menggunakan kantongan plastik ataupun yang terbuat dari bahan daur ulang jika berbelanja. Mereka selalu membawanya dari rumah dan terus dipakai ulang manakala mereka berbelanja. Itulah cerminan masyarakat yang memang sadar betul akan arti pentingnya menjaga kesehatan dan keselamatan lingkungan.
Memang upaya di atas kelihatannyaagak merepotkan bagi yang sudah terbiasa dengan pola hidup serba instan dan membuang sampah sembarangan. Namun kita perlu terus menggalakkan upaya penyelamatan lingkungan laut ini. Langkah kecil dan sederhana apapun yang kita lakukan akan sangat berkontribusi positif bagi kelangsungan hidup manusia.
Mari kita jaga lautan kita sebagai salah satu sumber kehidupan manusia. Ingat, laut bukanlah tong sampah, bukan pula tempat pembuangan akhir!