Hai, selamat pagi para pembaca setiaku! Kembali bertemu dengan saya lewat tulisan ini. Kali ini mengambil tema hidup dan kehidupan berbasis hutan. Selamat membaca dan jangan lupa membagikannya ke siapa saja.
Terima kasih
============================================================================
Hutan memiliki fungsi yang sangat strategis dan vital bagi kehidupan manusia. Hutan juga merupakan rumah bagi jutaan manusia di muka Bumi. Hutan memiliki sumber kekayaan alam yang tiada ternilai harganya.
Pun begitu dengan hutan Indonesia. Namun tak banyak yang menyadari bahwasanya hutan Indonesia tidak hanya terkenal dengan jenis-jenis kayunya semata. Hutan Indonesia pun mengandung aneka kekayaan lain yang tak kalah pentingnya bagi manusia.
Kekayaan yang berbentuk flora dan fauna ini sangat bermanfaat, di antaranya bagi industri farmasi/kerajinan, pariwisata dan ilmu pengetahuan. Di samping itu, hutan juga menjaga fungsi tata air, penyerap dan penyimpan karbondioksida serta sumber air bagi kebutuhan makhluk hidup.
Mengacu kepada data WWF, jika diurai kekayaan hutan Indonesia itu di antaranya terdiri dari 38 ribu jenis tanaman, 515 jenis mamalia (terbanyak di seluruh dunia), 511 jenis reptilia, 1.531 jenis burung di mana banyak di antaranya hanya terdapat di Indonesia dan tidak ada di tempat lain (endemik).
Sebagai negara yang memiliki luasan hutan hujan tropis terbesar ketiga di dunia setelah Brasil dan Kongo, dengan luas hutan mencapai 109 juta hektare (2003), hutan Indonesia menjadi incaran banyak pihak untuk “diberdayakan” atas nama pembangunan dan pemenuhan kebutuhan manusia.
Akan tetapi “pemberdayaan” atau eksploitasi hutan dan hasil-hasilnya yang tidak terkendali dan melanggar hukum yang sangat banyak dilakukan oleh berbagai pihak, antara lain perorangan, kelompok masyarakat tertentu, perusahaan-perusahaan berskala besar dan termasuk keterlibatan oknum-oknum birokrasi pemerintahan, telah mendegradasi luasan hutan yang ada.
Terdegradasinya luasan hutan yang eksis selain menggerus fungsi alamiahnya sebagai organ esensial Bumi pemberi hidup dan kehidupan, juga mengancam keberlangsungan hidup manusia-manusia hutan yang mendiami hutan Indonesia yang sangat bergantung kepadanya. Manusia-manusia hutan yang antara lain lazim disebut komunitas adat, suku asli atau masyarakat terpencil/ pedalaman ini terancam punah akibat kehilangan sumber makanan yang diperoleh dari hutan.
Tak bisa dipungkiri pembalakan liar (illegal logging), konversi lahan besar-besaran yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan multinasional, kebakaran hutan dan lahan, kegiatan penambangan dan penebangan tidak lestari (unsustainable logging) berkontribusi negatif terhadap kerusakan hutan dan lingkungannya.
Sungguh ironis memang, hutan yang sejatinya diperuntukkan keberadaannya bagi keberlangsungan kehidupan makhluk hidup justru menjadi gelanggang kematian makhluk hidup itu sendiri jika tak mau disebut “pembantaian”. Celakanya lagi, pemusnahan terstruktur, sistematik, dan masif ini dilakukan pula oleh sekelompok manusia lain berlabel “borjuis” berkapital besar dengan dibantu “kealpaan” negara di dalamnya.
Kelaparan ketika Negara Abai
Sebagaimana penulis baca di salah satu media nasional, diberitakan bahwa sekurang-kurangnya 11 orang rimba atau suku Anak Dalam yang bermukim di hutan Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD), Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi tewas mengenaskan akibat kelaparan yang mendera mereka. Bahkan ada belasan lagi yang terancam tewas dengan cara yang sama.
Sungguh mengenaskan memang nasib anak-anak bangsa yang berdiam di bumi “gemah ripah lohjinawi” ini. Negeri yang diklaim subur makmur ini menyisakan derita pilu yang tidak seharusnya dirasakan oleh siapapun entitas penghuni kolong lagit bumi nusantara.
Tindakan ini merupakan suatu bentuk “kebiadaban” manusia-manusia modern yang picik, culas dan tidak berperikemanusiaan yang lebih mementingkan kepentingan sesaat mereka.
Keserakahan atas nama kebutuhanlah yang menjadi dasar hancurnya hutan tempat para suku Anak Dalam dan suku-suku asli lainnya bertempat tinggal. Mereka makin terdesak dan terjepit ke pinggiran akibat alih fungsi dan deforestasi masif hutan yang berlangsung selama ini.
Konsekuensinya, sumber makanan mereka yang selama ini ditopang oleh hutan tempat mereka bernaung dan berlindung menjadi berkurang drastis dan nyaris hilang.
Tampaknya ketiadaan koordinasi antarlembaga negara dan keabaian pemerintah menjadi pelengkap duka nestapa para orang rimba tersebut. Keabaian yang menjadi penyebab derita mereka yang berujung pada kematian tragis.
Boleh dikatakan negara gagal dalam mengenali, menghormati, dan melindungi hak kelompok suku asli terutama hak atas tanah, wilayah atau teritorium beserta sumber daya alam yang dipunyai sebagai bagian dari pengakuan hak asasi mereka sebagaimana dinyatakan dalam UNDRIP (United Nation Declaration on the Rights of Indigenous People) 2007 atau Deklarasi PBB untuk kelompok suku asli.
Perlindungan Negara
Sejatinya kehadiran dan keberpihakan negara terhadap eksistensi suku-suku asli di Indonesia sangatlah substansial. Perlindungan negara adalah satu-satunya tameng bagi keberlangsungan perputaran roda kehidupan mereka. Pemerintah adalah kunci penyelamatan hutan. Tak ada yang bisa menggantikannya.
Dalam prosesnya tersebut, pemahaman dan pengertian pemerintah akan keunikan dan keragaman pola hidup suku-suku asli tertentu yang memilih lebih berbaur dan menyatu dengan alam daripada berbaur dengan kehidupan modern juga menjadi sangat relevan untuk ditanamkan. Pilihan hidup seperti itu merupakan bagian dari hak asasi mereka sendiri sesuai dengan budaya dan identitas yang mereka bawa.
Tantangan bagi pemerintah adalah mencari pola dan sistem yang tepat untuk mengakomodir kekhasan mereka. Bukan mencari alasan pembenar demi menghindari tugas dan tanggungjawabnya sebagai pamong rakyat.
Memang benar telah ada sejumlah peraturan berbentuk perlindungan terhadap keberadaan suku-suku asli ini. Sebutlah semisal Keputusan Presiden Nomor 111 Tahun 1999 yang mengakomodir perubahan penyebutan suku terasing menjadi komunitas adat terpencil, UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU No 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Namun hal itu semua hanya indah di atas kertas saja tapi lemah dalam pelaksanaannya. Pahit memang rasanya mengetahui bahwa negara ini hanya pintar dalam membuat pranata-pranata hukum tetapi miskin dalam implementasinya.
Perlu diingat bahwa para suku-suku asli ini adalah kelompok masyarakat yang sangat rentan, baik secara sosial, ekonomi, finansial maupun pengetahuan kehidupan modern. Rentan terhadap berbagai ancaman dan bahaya yang sewaktu-waktu dapat mencerabut mereka dari akar budaya dan identitasnya. Yang mereka punya hanyalah kearifan lokal dan pengetahuan limitatif seputar hutan dan fungsinya beserta kemampuan bertahan hidup sesuai kapasitas yang mereka punya.
Mereka tidak berdaya melawan gurita hegemoni penguasa dan pemodal “barbar” yang merangsek masuk ke halaman dan isi “rumah kehidupan” turun-temurun mereka tanpa tedeng aling-aling. Tak ada yang bisa mereka lakukan selain berteriak memprotes penggundulannya, yang sayangnya protes dan teriakan mereka ini hilang tak terdengar.
Mereka paham cara untuk merawat dan menyelamatkan hutan mereka karena hutan adalah sumber rezeki dan kehidupan mereka. Tetapi mereka tidak pernah tahu bagaimana caranya melawan perusakan hutan yang serba “modern.” Mereka pun tidak pernah serakah. Mereka tahu batasan. Hanya memakai berdasarkan kebutuhan. Tidak seperti manusia di luar hutan yang tidak kenal batasan walaupun mereka kerap disebut lebih berpendidikan dan bernurani. Ironis memang.
Lalu, siapa sebenarnya yang lebih beradab “orang hutan” atau orang kota? Siapa yang lebih bernurani, “orang rimba” atau orang modern?
Oleh karena itu, penting untuk kita semua menyadari arti penting hutan bagi kehidupan. Bukan hanya menyadari tapi juga melaksanakan tindakan konkret untuk melindungi hutan, seperti reboisasi, penanaman satu pohon satu rumah dan tindakan penebangan selektif. Ketika hutan musnah, maka kehidupan pun akan punah.