Guru, Pembelajaran Berbasis Digital dan UNBK
Mau gimana ya...games lebih menarik itu? Tantangan ini namanya.
“Semua permainan bersifat mendidik.” (Will Wright)
Sekolah sekarang membosankan. Sekolah sekarang sudah jauh ketinggalan zaman. Guru-gurunya juga tak menyenangkan, tidak adaptif dan tidak gaul. Pelajarannya ‘kering’ tak menantang. Metode pengajarannya pun tak menarik: ceramah, ceramah, dan ceramah lagi, tidak interaktif, dan tidak seru. Lebih nikmat dan asyik rasanya bermain video games ketimbang belajar.
Sekelumit ujaran di atas menjadi fenomena yang sekarang ini tengah melanda banyak sekolah di dunia, termasuk Indonesia, terutama di kota-kota besar.
Ya, bermain video games telah mengambil alih atensi terbesar para siswa di dalam kelas. Dan mereka pun terpikat karenanya.
Peringatan. Ini adalah catatan penting bagi seluruh pendidik untuk segera mengevaluasi metode, teknik, pendekatan dan media pembelajaran mereka dalam kelas. Singkatnya, harus ada transformasi tentang bagaimana dan apa yang mereka ajarkan di dalam kelas. Pada saat yang sama, hal ini juga merupakan kritikan bagi sekolah yang mungkin masih menganggap “kelas tradisional” masih relevan digunakan di tengah perkembangan eksponensial teknologi yang luar biasa dahsyatnya mengubah setiap individu, termasuklah perubahan afektif, kognitif dan motorik dalam proses belajarnya.
Terus terang saja mayoritas pendidik di negara ini masih berpikir kontradiktif dan teralienasi dengan fenomena “video games mengambil alih pembelajaran di kelas” dan masih bersikukuh di zona nyamannya memegang teguh prinsip pembelajaran dan pengajaran tempo “doeloe” mereka sebagaimana diwariskan dari para pendidik mereka terdahulu.
Tapi, mari bangun dan sadarlah para pendidik! Itulah fakta yang mengemuka. Para pendidik harus berubah dan mau beradaptasi mengikuti pola dan kecenderungan belajar para siswa milenial ini. Tak bisa lagi melawan arus gelombang globalisasi dan digitalisasi pembelajaran ( e-learning). Melawan berarti “tergulung” dan “tersapu.”
Para pendidik harus tahu, paham dan mampu menggunakan teknologi informasi. Mereka pun harus mau belajar mengenai teknologi ini dari siapapun, termasuk dari para anak didiknya. Para pendidik juga harus mempelajari videogames dan mampu mengajar dengannya sebagai salah satu solusi mengatasi kejenuhan siswa. Bahkan, sangat direkomendasikan sekali jika mereka mampu membuat video games yang interaktif dan terkait dengan pembelajarannya masing-masing.
Boleh dikatakan para siswa sekarang umumnya jauh lebih menguasai teknologi informasi dibanding para pendidik mereka. Oleh karena itu, tidak ada salahnya belajar dari para siswa, dengan catatan memang harus ada rasa saling menghargai. Tambahan lagi, bukankah belajar itu proses seumur hidup dan dari siapa saja? Bukankah hanya manusia yang mau belajar dan beradaptasi yang bisa eksis di kehidupan ini?
Selain itu, tentu saja tidak hanya para pendidik yang harus berubah. Sekolah pun harus mengubah orientasinya terhadap kebutuhan belajar para siswa digital ini. Sekolah ---- cepat atau lambat--- harus mengubah infrastruktur sekolah masing-masing. Sekolah harus mengadaptasi keinginan siswa sebagai “pelanggannya” jika tidak ingin dianggap “membosankan” dan ditinggalkan. Pembelajaran atau kelas berbasis games/digital bukan hal yang mustahil diimplementasikan di era digital natives saat ini.
Video games lebih memikat
Tak bisa dipungkiri pelajar-pelajar abad ke-21 jauh lebih menyenangi video games daripada subjek-subjek pelajaran yang diajarkan di dalam kelas. Tiap kali ada kesempatan mereka kerap “mencuri” waktu untuk bermain games. Apalagi jika mereka diberi “jam bebas,” secara otomatis mereka akan lebih memilih memainkan permainan yang terdapat dalam komputer, telepon pintar dan aneka peralatan elektronik (gadget) yang mereka punyai ketimbang mengulang pelajaran, misalnya.
Gejala ini tampak nyata dan sulit dibantah. Jika para pendidik mau terbuka dan sadar akan gelagat ini, tentunya mereka akan melakukan refleksi diri dan mencari tahu apa penyebabnya. Namun sayang, alih-alih melakukan perenungan, mereka kerap menyalahkan para siswa dengan mencap siswa “malas belajar,” “membuang-buang waktu dan uang orangtua,” “tak punya motivasi,”tak mau berpikir kritis dan kreatif,” dan berbagai macam stereotif negatif yang ditujukan kepada siswa/inya dan video games.
Hemat penulis, pandangan ini tidaklah tepat dan cenderung mengkambinghitamkan para anak didik dan video games semata. Harus diingat para siwa sekarang hidup di era digitalisasi. Mereka hidup di dunia teknologi. Mereka adalah penikmat sekaligus pemakai aktif teknologi itu sendiri. Logikanya sederhana. Mari kita lihat dari perspektif anak didik tersebut. “Jika aku memiliki gadget canggih yang membuat hidupku nyaman dan terbantu di mana-mana, kenapa tidak kupakai di sekolah?”
Sebagai konsekuensinya, dalam segala lini kehidupan mereka peran serta teknologi tak bisa dinafikan begitu saja. Impian sejati mereka sebenarnya adalah kapan dan bagaimana caranya agar pembelajaran mereka di sekolah bisa senikmat dan seasyik bermain video games. Inilah yang luput dari perhatian para pendidik.
Dalam bukunya Digital Game-Based Learning, Prensky (2001) menyebutkan selusin ciri-ciri menarik dari gameplay, yaitu (1) game adalah bentuk yang menyenangkan yang memberikan kita kenikmatan dan kesenangan, (2) game merupakan bentuk dari bermain yang memberikan kita kenikmatan yang intens dan penuh semangat, (3) game memiliki peraturan yang memberikan kita struktur, (4) game memiliki tujuan yang memberikan kita motivasi, (5) game bersifat interaktif yang menyebabkan kita melakukan, (6) game memiliki hasil dan umpan balik yang memberikan kita pelajaran, (7) game dapat diterapkan yang memberikan kita aliran, (8) game memiliki situasi menang yang memberikan kita kepuasan diri, (9) game mengandung konflik/persaingan/tantangan/oposisi yang memberikan kita adrenalin, (10) game memiliki pemecahan masalah yang memicu kreativitas kita, (11) game memiliki interaksi yang memberikan kita kelompok sosial, dan (12) game memiliki representasi dan cerita yang memberikan kita emosi.
Hal-hal tersebut di ataslah yang menyebabkan mengapa para pelajar sekarang jauh lebih menyenangi dan kepincut dengan video games. Adalah keliru anggapan yang menyatakan video games itu tidak memotivasi, tidak terstruktur, tidak memiliki tujuan, tidak terencana, tidak memicu kreativitas dan rasa ingin tahu, tidak memiliki pemecahan masalah dan tidak mendidik sebagaimana terdapat dalam unsur-unsur pembelajaran. Apakah tidak sebaliknya yang terjadi dalam dunia pembelajaran kita dewasa ini?
Hal sangat penting dan mendesak untuk menjadi kajian para pendidik, sekolah dan berbagai stakeholder pendidikan lainnya adalah, sudahkah dan mampukah kita menangkap peluang dan tantangan ini sebagai salah satu jalan keluar dari pendidikan yang membelenggu dan membebani demi suksesnya pembelajaran yang mencerahkan dan menyenangkan, sebagaimana acap disebutkan oleh mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan?
Untuk itu, menjadi guru dari pembelajaran digital saat ini adalah keniscayaan yang sulit dihindari. Tak ada jalan lain, kecuali beradaptasi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri demi suksesnya pendidikan Indonesia yang lebih baik dan berkualitas.
Bukankah ujian nasional sekarang ini sudah berbasis digital? Jadi, sembari menunggu regulasi dari pemerintah, kenapa tidak kita mulai dari kelas kita sendiri, seperti pemanfaatan Google classroom sebagai awalan, misalnya?
Ingin membaca versi Inggrisnya? Baca di sini.