kompasTV
Dalam ilmu biologi, kita mengenal adanya rantai makanan, yaitu proses perpindahan energi dari produsen ke konsumen. Salah satu rantai makanan tersebut adalah rantai pemangsa. Dalam rantai pemangsa ini terdapat satu predator puncak. Contohnya adalah ketika hewan pemakan tumbuhan (kelinci memakan rumput) dimakan oleh hewan pemakan daging (kelinci-ular-elang). Dalam hal ini, elang adalah predator puncak dalam habitat tersebut.
Dalam konteks bahasa, hal yang sama pun sudah, sedang dan mungkin akan terus terjadi. Coba lihat bagaimana bahasa daerah di berbagai belahan dunia telah punah dan digantikan (baca: dimangsa) oleh bahasa-bahasa lain, baik oleh bahasa nasionalnya sendiri maupun oleh bahasa asing sebagai predator puncaknya.
Kumparan
Keresahan akan gejala predatorisme bahasa ini sudah sering didengungkan oleh berbagai kalangan. Jika Indra Tranggono, sebagaimana dikutip oleh Riduan Situmorang, pernah menggelisahkan eksistensi bahasa daerah di mana dalam setiap pelukan pergantian rezim senantiasa berubah, Lasron P Sinurat secara terang-terangan “mengkambinghitamkan” bahasa Inggris sebagai penyebab pudarnya bahasa daerah dalam artikelnya yang berjudul “Bahasa Daerah sebagai Jati Diri Bangsa”.
Bahasa Resmi ASEAN?
Sebenarnya ada satu momentum bagus untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa global, sekurang-kurangnya regional. Medio 2016 lalu adalah tahun awal komunitas ASEAN memasuki babak baru dalam relasi dagang-ekonominya yang disebut sebagai Masyarakat Ekonomi ASEAN/MEA (ASEAN Economic Community). Tentunya sebagai gawean baru hal ini memberikan harapan baru. Harapannya adalah agar bahasa Indonesia menjadi alat komunikasi resmi di kawasan.
Alasannya adalah karena bahasa Indonesia memiliki potensi yang sangat besar jika dilihat dari penggunanya. Mari kita lihat.
Berbicara tentang penggunanya, menurutethnologue.com, diestimasikan bahwa bahasa Indonesia, yang berakar dari bahasa Melayu, digunakan oleh kurang lebih 259 juta penutur di seluruh dunia, dan terdaftar di peringkat 7 dunia.
Selain itu, sejak tahun 2007 Bahasa Indonesia telah dinyatakan sebagai alat komunikasi utama kedua di Vietnam. Di Thailand, dari hari ke hari semakin banyak orang yang mempelajari bahasa Indonesia, dan tercatat ada sekitar 900.000 pengguna yang fasih menggunakannya, membuktikan bahwa bahasa Indonesia telah menjadi bahasa dominan di Asia Tenggara di antara 565 juta populasi di kawasan. Jumlah ini bisa bertambah besar apabila dimultiplikasikan dengan beberapa negara lain yang menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantarnya.
Kompasiana
Lebih jauh lagi, dengan berbagai eminensi yang dimiliki bangsa Indonesia, bahasa Indonesia juga diproyeksikan sebagai ujaran baku di Asia Tenggara. Dan kesempatan ini sangat terbuka lebar untuk terealisasi.
Namun sayang, realisasi itu tereduksi oleh kebijakan pemerintah yang tidak mengharuskan pekerja asing dan calon pekerja asing untuk menguasai bahasa Indonesia sebagai persyaratan utama bekerja dan dalam berkomunikasi di Indonesia. Bagaimana bisa bahasa Indonesia menjadi bahasa global sementara di negara asalnya sendiri bahasa Indonesia tidak dianggap penting?
Penetrasi Ekonomi
Pesatnya kemajuan ekonomi dunia Barat tak pelak menimbulkan berbagai macam penetrasi di berbagai negara. Tak terkecuali penetrasi bahasa. Tak bisa disangkal kemajuan dan kemapanan ekonomi suatu bangsa bisa menjadi pemicu masyarakat bangsa lain berbondong-bondong memelajari ekonomi dan juga bahasa negara maju tersebut.
Dalam konteks ini, negara Inggris dan bahasanya adalah salah satu bahasa global dunia yang menjadi pelajaran wajib di semua negara bersebab negara ini adalah pencetus peradaban modern dengan ditemukannya mesin uap oleh James Watt yang berkewarnegaraan Inggris.
Seiring makin meningkatnya perekonomian suatu bangsa dan adanya penetrasi bahasa tertentu yang mendominasi perekonomian tersebut, mengakibatkan penutur asli bahasa daerah yang lain meninggalkan bahasanya demi memilih kemapanan ekonomi. Ekonomi adalah predator puncak penghilang bahasa nasional dan daerah.
Hal ini terkonfirmasi melalui penelitian yang dilakukan oleh Tatsuya Amano, salah seorang peneliti bahasa dari University of Cambridge. Ia mengatakan bahwa 25% bahasa di dunia terancam punah disebabkan dominasi ekonomi bahasa tertentu. Orang-orang dipaksa untuk mengadopsi bahasa dominan jika tidak ingin ketinggalan secara ekonomi. Dan umumnya hegemoni ekonomi ini berlanjut ke dominasi politik dan pendidikan.
Studi tersebut juga menyimpulkan, bahasa-bahasa minoritas di bagian dunia paling maju, termasuk Amerika Utara, Eropa, dan Australia adalah yang paling terancam. Hal yang sama juga terjadi di wilayah tropis (Asia).
Tantangan Bahasa
Tantangan mendasar terkait bahasa di Indonesia adalah bagaimana memadukan upaya pelestarian bahasa daerah yang berkesinambungan dan pada saat yang bersamaan bisa seiring sejalan dengan pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu dan jati diri bangsa sekaligus dengan penguasaan bahasa asing (Inggris) sebagai bahasa global dunia jika kita belum mampu mengangkat bahasa Indonesia sebagai bahasa global.
Solusi yang mengemuka adalah adalah tetap memuat bahasa daerah sebagai konten muatan lokal di sekolah-sekolah, menyelenggarakan kompetisi bahasa daerah secara teratur, memasyarakatkan penggunaan bahasa daerah di lingkungan keluarga dan komunitas serta penerapan undang-undang khusus mengenai bahasa daerah.
Tentunya harus ada koridor-koridor pembatas yang jelas, kapan dan di mana bahasa daerah tersebut dipergunakan agar tidak bercampur baur dengan bahasa Indonesia ataupun bahasa asing (Inggris), dan yang lebih jauh lagi adalah tidak menimbulkan diskriminasi atau keeksklusifan bahasa daerah tertentu semata.
Berikutnya adalah mengenai eksistensi bahasa Indonesia dalam percaturan global hegemoni bahasa-bahasa besar dunia. Sejujurnya bahasa Indonesia memiliki potensi besar menjadi salah satu bahasa global di dunia.
Selain itu, penghalang lainnya adalah fenomena makin banyaknya anak-anak usia sekolah yang lahir dan besar di Indonesia, terutama yang lahir di kota-kota besar, tidak lagi mampu berbahasa Indonesia dengan lancar. Namun sebaliknya, sangat fasih berbahasa Inggris sebagaimana diungkapkan oleh Norimitsu Onishi dalam artikelnya yang berjudul As English Spreads, Indonesians Fear for Their Language yang terbit di The New York Times edisi 25 Juli 2010.
Adalah hal yang wajar apabila ada keresahan atau ketakutan bahwasanya warisan linguistik bangsa Indonesia, yaitu bahasa daerah dan Indonesia akan lenyap seiring makin bertambahnya kalangan menengah ke atas yang lebih memilih menyekolahkan anak-anaknya di sekolah-sekolah yang memakai medium bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar daripada bahasa Indonesia, apalagi bahasa daerah.
Namun perlu diingat, bukan bahasa Inggrisnya yang “bersalah”, akan tetapi alasan ekonomi bahasalah yang menjadi penentunya. Secara alami setiap orang akan belajar dari yang lebih maju. Dalam hal ini bahasa Inggris lebih maju dari bahasa Indonesia.
Untuk itu, peranan orangtua sangat penting dalam mempromosikan bahasa daerah dan Indonesia yang juga harus dibarengi dengan faktor pengajaran bahasa Indonesia yang menarik di ruang-ruang kelas.
Tantangan terakhir adalah bagaimana seharusnya memerlakukan bahasa asing, khususnya bahasa Inggris di Indonesia. Apakah tetap sebagai EFL (English as Foreign Language), ESL (English as Second Language), atau sebagai bahasa utama/dominan dalam ekonomi, politik dan pendidikan sebagaimana diterapkan oleh negara-negara yang tergabung dalam commonwealth (bekas koloni Inggris) seperti Malaysia dan Singapura.
Tampaknya kita harus belajar dari negara Jepang, Korea Selatan dan Tiongkok agar terhindar dari kanibalisme ekonomi dan bahasa asing. Mereka tidak anti asing. Mereka terbuka dengan hal-hal yang berbau asing dan ikut serta menikmati pendidikan dan kemajuan asing sembari belajar hal-hal yang positif darinya.
Sembari memelajari ilmu pengetahuan dan teknologi negara Barat, mereka tidak lupa mengenalkan budaya dan bahasanya ke dunia luar. Alhasil, mereka telah berhasil bertransformasi menjadi bangsa maju dan tetap tegak dengan ekonomi dan bahasanya hingga hari ini.