“Tikus sejatinya adalah binatang pengerat yang bekerja penuh perhitungan dan menggunakan insting dan nalurinya dalam mengidentifikasi suatu hal untuk kemudian memutuskannya. Setidaknya itulah yang digambarkan dalam buku Who Moved My Cheese? guratan pena Spencer Johnson.”
Percayalah, sifat dan mekanisme kerja tikus bisa menjadi acuan menuju tampuk kekuasaan tertinggi, baik di daerah maupun pusat. Hal ini juga bisa dijadikan rujukan bagi para balon kepala daerah maupun capres yang tengah menyusun strategi meminang para wakil-wakilnya, mencari kawan koalisi sekaligus juga nantinya dalam menyusun program kampanye dan rencana kerja masing-masing apabila terpilih.
Bagi para balon kepala daerah dan capres yang sudah jelas dicalonkan partainya, hemat penulis tidaklah keliru belajar dari sifat-sifat hewan ini sebagai salah satu strategi terbaik menuju puncak tampuk kekuasaan negeri, sekalipun hewan yang disimbolisasikan itu bisa memicu perdebatan dan silang pendapat. Bukankah makin sering dibicarakan mempermudah jalan kita untuk makin tenar dan dikenal publik? Anda, para balon kepala daerah dan capres, harus bisa “mengendus” dan “menggigit” dengan tepat dan benar. Tapi ingat, jangan salah endus ataupun gigit, bisa bahaya!
Meniru Tikus
Telah sama-sama kita mahfumi bahwa tikus adalah fauna yang selama ini selalu dimarkahkan dengan hal-hal yang tidak baik di masyarakat. Lihat saja, tikus sebangun dengan makhluk yang menjijikkan, bau dan kotor. Tikus juga dianggap sebagai perusak tanaman pertanian. Selain itu, hewan pengerat ini juga dianggap sebagai ikon para koruptor yang menggerogoti uang rakyat.
Jadi, bisa kita nilai bahwa segala hal yang disamakan dengan tikus pastilah negatif. Kalau begitu, kenapa harus meniru dan belajar dari tikus? Tapi, nanti dulu. Jangan kita langsung memvonis tidak ada yang perlu ditiru ataupun dipelajari dari hewan ini. Tikus juga banyak berjasa bagi manusia, salah satunya adalah pengorbanan heroik mereka sebagai “hewan percobaan” di laboratorium-laboratorium bagi kemaslahatan umat manusia.
Ilustrasi berikut ini mungkin bisa membantu kita memahami dasar pemikiran mengapa penulis menuliskan judul opini di atas. Alkisah dalam buku Who Moved My Cheese tersebut, terdapat 4 karakter yang mewakili sifat dan perilaku manusia yang berjuang dalam memertahankan hidup dan kehidupannya. Dua dari karakter itu adalah tikus, dan yang lainnya adalah kurcaci.
Karakter tikus direpresentasikan oleh tokoh Sniff (endus) dan Scurry (lacak). Sniff dan Scurry adalah karakter yang mampu mencermati perubahan dengan cepat, selalu berusaha mencari kemungkinan-kemungkinan dan peluang-peluang baru yang ada. Kemudian, bergegas mengambil tindakan dengan segera terkait perubahan dan peluang-peluang baru tersebut. Mereka tidak mau berdiam dan berpuas diri dengan hal-hal yang ada.
Sementara itu, kedua kurcaci yang diwakili oleh Hem (kaku) dan Haw (aman) adalah karakter yang menolak dan mengingkari perubahan karena takut pada perubahan tersebut dan telanjur nyaman dengan keadaan dan hal-hal yang telah diraih (comfort zone). Mereka hanya mau beradaptasi jika melihat perubahan itu mendatangkan sesuatu yang lebih baik, yang sayangnya untuk mencapai hal itu mereka harus berkali-kali melakukan trial and error. Sedangkan cheese (keju, makanan) yang dimaksud adalah peluang, kesempatan dan tantangan yang ada dalam labirin (kehidupan) sehari-hari yang nantinya akan dieksekusi (digigit).
Menilik dari cerita di atas, setidaknya bisa diambil kesimpulan bahwa para tokoh yang nantinya bertarung dalam kampanye pemilihan presiden dan para kepala daerah setidaknya bisa bertindak dan berpola pikir seperti tikus yang digambarkan tersebut. Pandai menganalisis situasi (endus) dan kemudian baru mengambil tindakan ataupun keputusan (gigit) terkait situasi yang ada.
Seni Memenangkan Kepentingan
Sesungguhnya adalah hal yang niscaya bila para politikus berusaha untuk memenangkan kepentingan rakyat melalui partai yang diwakilinya. Untuk mengejawantahkan hal tersebut, ada berbagai macam cara yang dapat dilakukan. Salah satunya adalah berguru dari sifat hewan pengerat ini, yang tentu saja disesuaikan dengan keadaan dan kondisi yang ada.
Jika dicermati secara saksama, hal ini ada benarnya juga. Karena apa yang digambarkan melalui penggambaran karakter tikus dan cara kerjanya memang perlu ditiru dan dilaksanakan oleh manusia, siapapun dia, terutama para calon-calon pemimpin bangsa nantinya.
Cara kerja yang dilakukan oleh sang tikus bisa diterapkan di segala lini kehidupan (poleksosbudhankam, pendidikan, niaga, dan lain sebagainya). Kita harus terus melakukan analisis terhadap segala hal. Kita harus sadar dan tanggap lingkungan menyikapi perubahan karena sesungguhnya perubahan itu adalah baka.
Dan, kalau selama ini kita hanya melihat tikus dari satu sisi penggambaran saja, kita juga harus mampu melihat dari sisi yang lainnya. Tepatnya sisi positif dari tikus terkait mekanisme pertahanan hidupnya.
Jika ditarik ke ranah perpolitikan di Tanah Air, tentu hal-hal yang dianggap sudah ”baku” apabila diubah dan hendak diganti dengan anasir lain, pastinya akan menimbulkan polemik dan perdebatan di mana-mana. Hal itu lumrah adanya.
Namun yang perlu dilihat adalah makna atau esensinya. Apa manfaat terbesarnya.
Penulis setuju dengan istilah politics is the art of winning, politik adalah seni memenangkan kepentingan. Kepentingan untuk rakyat keseluruhan tanpa meninggalkan norma-norma kepatutan dan moralitas. Tanpa harus menghalalkan segala cara. Tanpa harus dengan kepura-puraan.
Bagaimana dengan Anda para calon pemimpin bangsa, siapkah Anda berguru dari kearifan sang tikus menuju kursi kepemimpinan tertinggi skala lokal dan nasional?