Beberapa saat yang lalu Medan mendapat predikat sebaga kota paling tidak aman di Indonesia. Soal ketidakamanan ini, ada berbagai macam penyebabnya, salah satu di antaranya adalah tindakan para begal yang kian meresahkan masyarakat.
Dan sudah cukup banyak media yang memberitakan tentang sepak terjang para begal tersebut. Berbagai tindakan kejahatan begal marak disiarkan dengan berbagai modus dan korban. Namun, sejatinya, yang menjadi perhatian adalah ragam “begal” yang ada. Faktanya, para begal tersebut bisa diklasifikan menjadi dua: begal jalanan dan begal elite.
Secara etimologi, begal berarti tindakan kejahatan berupa perampasan kepemilikan hak atau harta benda seseorang oleh orang lain. Tindakan perampasan ini bisa dalam bentuk kekerasan fisik ataupun nonfisik.
Baiklah, saya akan memilahnya satu per satu. Umumnya faktor penyebab tindakan begal jalanan ini ada bermacam-macam, di antaranya kemiskinan yang melebar, curamnya kualitas pendidikan dan yang teranyar sebagaimana diungkapkan oleh mantan Mendikbud Anies Baswedan adalah sisi negatif dari video game.(detiknews)
Memang benar, kemiskinan yang menganga menyebabkan banyak manusia tak berdaya dan hanya pasrah menerima keadaan kehidupan yang hedonis dan konsumtif. Orang-orang yang tak berdaya dan pasrah ini kebanyakan ujung-ujungnya hidup menggelandang mengharapkan uluran tangan dari orang lain demi sekadar menyambung hidup disebabkan keterbatasan yang dimilikinya, baik fisik maupun ketrampilan. Tetapi perlu diingat, mereka tetap memiliki keinginan dan hasrat yang terpendam dalam hatinya.
Yang juga tak kalah pentingnya adalah pendidikan. Rendahnya kualitas pendidikan yang dimiliki seseorang cenderung menyebabkan seorang individu berpikir pendek/instan dalam mengambil keputusan untuk dieksekusi. Singkat kata, dalam pertimbangannya individu-individu ini sering lebih mementingkan hasil “lumayan” yang didapat dengan cara mudah ketimbang risikonya.
Kemudian, faktor negatif video game. Dewasa ini, marak kita lihat menjamurnya jasa penyewaan video game/play satation di mana-mana. Tarif video game ataupun play station ini tidaklah mahal. Dengan tiga sampai lima lembaran uang ribuan, siapapun bisa segera menikmati suguhannya, yang tidak jarang menampilkan konten-konten berbau kekerasan ataupun tindak kriminalitas.
Disadari atau tidak, baik langsung maupun tidak langsung, isi dari materi-materi maya yang terdapat di dalam video game tersebut bisa memengaruhi alam bawah sadar penggunanya. Dan hal ini, pada suatu periode waktu tertentu, bisa memicu si pengguna untuk mewujudkannya di dunia nyata bersebab mereka masih tetap memiliki dan memendam keinginannya.
Jika si pengguna terbiasa bermain video game bertema kekerasan, maka ada kemungkinan besar dia akan menjadi pelaku kekerasan tersebut. Inilah yang penulis sebut pemantik alam bawah sadar yang terpendam.
Untuk selanjutnya, gabungan dari kemiskinan yang jomplang, pendidikan yang minim dan efek buruk dari video game bisa menimbulkan masalah sosial. Apalagi jika bercampur baur dengan pemakaian narkoba. Lengkaplah sudah adonan-adonan yang bisa merumuskan teori terjadinya tindak kekerasan begal ini.
Sebagaimana kita saksikan dan baca di berbagai media, rerata pelaku begal tersebut adalah mereka-mereka yang tergolong usia muda dan remaja alias usia produktif sekolah. Dari penyelidikan yang dilakukan aparat penegak hukum, alasan mereka yang paling umum yang terungkap adalah butuh biaya hidup dan biaya sekolah. Dan menurut hemat penulis, bisa jadi alasan mereka pun karena terpengaruh isi dari video game kekerasan yang mereka mainkan.
Begal Elite
Sesungguhnya permasalahan begal sekarang ini tidak hanya didominasi oleh begal jalanan. Ada juga begal lain yang tak kalah berbahayanya. Mereka adalah begal-begal berdasi dan duduk di kursi empuk yang nyaman yang juga bertebaran di mana-mana.
Mereka ada di tingkat eksekutif, legislatif, judikatif hingga kalangan partikelir swasta. Bahasa kerennya sekarang ini para penjahat necis itu disebut koruptor. Ya, benar. Koruptor.
Para begal atau koruptor yang dalam praktiknya melakukan tindakan koruptif pun termasuk memaksa dengan kekerasan. Hanya saja, kekerasannya barangkali jarang secara fisik. Kebanyakan dilakukan secara “santun bertekanan.” Santun bertekanan ini bisa berupa lobi-lobi, janji-janji proyek, manipulasi anggaran, menaikkan anggaran, proyek-proyek fiktif, gratifikasi dan kongkalikong lainnya dengan pola simbiosis mutualisme. Artinya, masing-masing pihak punya kepentingan untuk “digolkan.”
Kaum begal elite ini hampir keseluruhannya punya pendidikan tinggi dan sangat bermartabat dari tampak luarnya. Elite-elite begal ini pun sebenarnya tidak punya masalah finansial, pendidikan ataupun pengaruh sisi gelap dari video game sebagaimana layaknya begal-begal jalanan.
Namun nyatanya, tanpa bermaksud menyamaratakan mereka semua, tidaklah begitu adab martabatnya. Kalau boleh jujur, sebenarnya begal-begal tipe elite inilah yang paling berbahaya dan memiliki efek merusak yang mahadahsyat.
Efek yang mereka timbulkan memang laten. Tidak langsung tampak pada saat terjadinya kejadian. Tidak langsung menimbulkan korban dan kerugian seperti halnya pengaruh dari begal jalanan. Hasil dari begalisasi para begal elite ibarat puncak gunung es dan bom waktu. Suatu saat akan meledak dan menghancurkan sendi-sendi dasar kehidupan. Bahkan merenggut hak asasi setiap individu.
Lihatlah kasus yang pernah hangat diperguncingkan di ibukota negara Republik Indonesia, Jakarta. Perdebatan siapa yang benar dan salah seputar pengesahan RAPBD DKI Jakarta 2015 berlangsung alot antara Gubernur dan DPRD DKI. Potensi pembegalan koruptif uang negara itu mencapai angka yang fantastis, Rp 12,1 triliun.
Apa yang bisa dilakukan dengan jumlah uang sebesar itu? Dengan uang sebesar Rp 12, 1 triliun itu bisa digunakan untuk memperbaiki dan membangun ratusan sekolah, membangun waduk, membangun RSUD, menambah armada bus Transjakarta dan lain sebagainya yang sangat bermanfaat bagi rakyat Jakarta dibandingkan masuk ke kantong-kantong oknum tidak bertanggung jawab yang memanipulasi dan membegalkoruptifkan uang rakyat demi kepentingan diri dan kelompoknya.
Pendek cerita, buntut dari perseteruan kedua lembaga ini adalah hak angket bagi sang gubernur dan pelaporan DPRD DKI ke KPK yang dilakukan oleh pak gubernur.
Dari cerita di atas bisa disimpulkan bahwa sebenarnya tindak kejahatan berupa pembegalan itu bisa dilakukan oleh siapa saja, dengan motif apa saja, tanpa memandang siapa pun yang menjadi pelaku atau korbannya, baik dari segi usia, level pendidikan, kebutuhan ekonomi dan lain sebagainya. Yang jelas tindakan begal ini merampas rasa aman, nyaman, ketenangan dan kesejahteraan individu khususnya dan masyarakat dan bangsa pada umumnya.
Tentu setiap tindak kejahatan (begal) harus diberi ganjaran setimpal sesuai perbuatannya, baik oleh begal jalanan) maupun begal elite. Walaupun begitu, tindakan yang paling tepat untuk dilakukan itu adalah pencegahan. Pencegahan merupakan upaya efektif untuk meminimalisir bahkan menghilangkan kerugian.
Upaya solutif bagi pencegahan begal jalanan barangkali adalah perhatian dan pengawasan dari orangtua, perhatian pemerintah pada akses pendidikan berkeadilan bagi semua golongan dan pengawasan serta pengaturan akan konten-konten video game. Sedangkan bagi begal elite adalah transparansi anggaran sehingga publik bisa turut mengawasinya juga.