foto pribadi
Setelah membaca uraian gamblang Saudara Riduan Situmorang di kolom Esai Basabasi.co (Kamis, 11/4/2019) terkait materi Bahasa Indonesia, saya berkesimpulan bahwa memang ada yang salah dalam pengajaran Bahasa Indonesia sehingga ia menjadi momok dan lebih ironisnya lagi ada paradoks yang berkelindan dalam pembelajaran dan implementasi Bahasa Indonesia di Tanah Air. Ada jurang antara fakta dan harapan.
Duh…ada jurang menganga di situ, Bro and Sis!. Jika Riduan Situmorang mengkomparasikan paradoks pembelajaran eksakta dengan noneksakta (matematika, fisika dengan Bahasa Indonesia) yang memang kurang apple to apple alias gak nyambung untuk didiskusikan dan dijembatani, maka saya akan membandingkannya dengan pembelajaran yang lebih terasa “masuk” alias noneksakta, plus kebijakan pemerintah terkait Bahasa Indonesia yang kurang berpihak.
Mari kita mulai identifikasinya dengan pembanding yang selaras, sama-sama bahasa, yaitu Bahasa Inggris. Dari data yang saya punyai--- cie…cie...yang punya data--- setelah mengadakan sejumlah wawancara dengan sejumlah siswa menengah pertama dan menengah atas di sekolah saya, saya berkesimpulan bahwa pembelajaran Bahasa Indonesia itu memang sudah menjadi momok bin ditakuti kalau gak mau dibilang kurang disenangi. Salah satu parameternya adalah nilai akhir yang diperoleh. Nilai bahasa Indonesia para siswa tersebut lebih rendah dibandingkan capaian nilai Bahasa Inggris mereka.
Nah, loh, bukankah hal ini adalah sesuatu yang tidak masuk akal dan di luar nalar? Mengapa bisa nilai bahasa Inggris para pelajar kita rerata lebih tinggi dibandingkan nilai bahasa Indonesia yang notabene adalah bahasa cuap-cuap sehari-hari kita? Apa yang salah? Pengajarannya, kah? atau materinya barangkali?
Masih dari hasil wawancara tersebut, para siswa menyebutkan bahwa pengajaran dan materi bahasa Indonesia itu tidaklah menarik dan terlalu sulit. Guru-gurunya kurang inovatif dan terkesan ketinggalan zaman alias tidak kontekstual dalam penyampaian pengajarannya. Pembelajaran cenderung monoton dan kurang bervariasi. Tidak ada gerakan. Para siswa hanya datang, duduk dan diam. Sementara kita tahu ada tiga jenis tipe pembelajar, sebutlah pembelajar yang bertipe kinestetik (bergerak), visual (melihat) dan auditori (mendengar). Tidak mantul, bahasa gaulnya sekarang.
Jika guru hanya menetapkan model dan teknik pembelajarannya hanya pada satu tipe jenis pembelajaran, maka tidaklah heran jika siswa menjadi kurang termotivasi. Mungkin inilah yang menjadi penyebab mengapa Riduan Situmorang menyebutkan bahwa pembelajaran bahasa Indonesia tidak memerlukan otot dan otak. What??? Tidak perlu otak dan otot? Hellooowww! Walaupun sebenarnya asumsi ini tidaklah tepat.
Mengapa saya katakan tidak tepat? Karena tantangan terbesar mereka adalah mengenai materinya yang sulit, di samping cara penyajian yang kurang atraktif. Sulit di sini dikaitkan dengan beberapa hal, antara lain istilah-istilah yang dipakai dinilai terlalu njelimet dan kurang penjelasan, isi materi wacana dengan pilihan jawaban pertanyaannya terkesan seperti jebakan Batman beserta wacana yang terlalu panjang namun korelasinya tidak mengena dengan soal-soal yang diujikan, misalnya.
Dan dalam hal ini sebenarnya sudah terjadi proses berpikir dan menalar hingga mereka sampai pada kesimpulan bahwasanya materi pembelajaran Bahasa Indonesia itu sukar. Jadi, premis ini sekaligus membuyarkan pendapat penulis tersebut bahwa pembelajaran Bahasa Indonesia tidak memerlukan otot dan otak.
Jika kemudian di tulisan tersebut sang penulis juga menyatakan bahwa pelajaran Bahasa Indonesia adalah pelajaran favorit di sekolah, tampaknya hal ini juga masih berupa kesimpulan prematur. Sebabnya, jika pelajaran ini favorit, lalu mengapa pula nilainya bisa lebih rendah dibanding bahasa asing? Apa saya yang gagal paham, ya?
Saya tahu ini pertanyaan yang tidak mudah dijawab. Mungkin ini juga yang menjadi alasan mengapa pelajaran ini menjadi momok. Menakutkan karena kita masih belum tahu apa jalan keluar yang paling tepat dan mengena, terlepas dari identifikasi dan pencarian yang sudah kita lakukan.
Selain masalah teknis di atas, ada paradoks lainnya, yaitu kurangnya keberpihakan pemerintah terhadap bahasa persatuan kita ini dalam hal penerapan uji kompetensi Bahasa Indonesia bagi para pekerja asing di Tanah Air jika dilihat dari potensi masifnya penutur Bahasa Indonesia di seluruh dunia.
Menurutethnologue.com, diestimasikan bahwa bahasa Indonesia, yang berakar dari bahasa Melayu, digunakan oleh kurang lebih 259 juta penutur di seluruh dunia, dan terdaftar di peringkat 7 dunia. Woww, amazing!
Selain itu, sejak tahun 2007 Bahasa Indonesia telah dinyatakan sebagai alat komunikasi utama kedua di Vietnam. Di Thailand, dari hari ke hari semakin banyak orang yang mempelajari bahasa Indonesia, dan tercatat ada sekitar 900.000 pengguna yang fasih menggunakannya, membuktikan bahwa bahasa Indonesia telah menjadi bahasa dominan di Asia Tenggara di antara 565 juta populasi di kawasan.
Kita tahu ada satu momentum paling tepat untuk melihat keseriusan pemerintah dalam menerapkan asas resiprokalitas bagi para pekerja asing di Indonesia yaitu pada saat penerapan kebijakan bersama Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) medio 2015 lalu.
Pada saat itu sudah dipersiapkan revisi draf regulasi Menteri Tenaga Kerja tahun 2013 oleh Kementerian Tenaga Kerja bekerjasama dengan Pusat Pengembangan Bahasa Universitas Indonesia yang mencantumkan kewajiban para pekerja dan calon pekerja asing untuk menguasai bahasa Indonesia dan diharapkan menjadi titik awal penerapannya di Tanah Air.
Dengan penerapan peraturan ini, maka tidak bisa tidak seluruh pekerja dan calon pekerja asing terhitung tahun 2015 lampau wajib mengikuti semacam uji kompetensi Bahasa Indonesia persis seperti TOEFL-nya Bahasa Inggris.
Namun sayang seribu sayang, realisasi itu tereduksi oleh kebijakan pemerintah sendiri yang tidak mengharuskan pekerja asing dan calon pekerja asing untuk menguasai Bahasa Indonesia sebagai persyaratan utama bekerja dan dalam berkomunikasi di Indonesia. Simpulannya adalah, bagaimana bisa Bahasa Indonesia menjadi bahasa global dan tuan di rumahnya sendiri sementara di negara asalnya sendiri bahasa ini tidak dianggap penting?
My lov, sakitnya tuh di sini, ternyata Bahasa Indonesia gak penting-penting amat rupanya. Bukan favorit. Belum naik kelas.
Dan parahnya hal ini dapat berkontribusi pada kemunduran bahkan pudarnya bahasa tersebut. Salah seorang peneliti bahasa dari University of Cambridge, Tatsuya Amano, dalam studinya mengatakan bahwa 25% bahasa di dunia terancam punah disebabkan dominasi ekonomi bahasa tertentu. Orang-orang dipaksa untuk mengadopsi bahasa dominan jika tidak ingin ketinggalan secara ekonomi. Dan umumnya hegemoni ekonomi ini berlanjut ke dominasi politik dan pendidikan.
Penulis tersebut mengambil sudut pandang ekonomi karena bahasa itu adalah alat universal yang bisa dipakai sebagai apa saja. Kita tentu tahu sebagian besar bahasa perdagangan dunia masih menggunakan Bahasa Inggris dalam neraca komunikasinya.
Atau, jika mau dibuat lucu-lucuan atau sindiran, barangkali hal-hal di atas tersebut juga yang menjadi alasan penulis “Mengapa Materi Bahasa Indonesia Jadi Momok?” mengatakan bahwa pembelajaran Bahasa Indonesia tidak memerlukan otak dan otot. Hanya penulis dan Tuhanlah yang tahu jawabannya. Salam!