Hi, para pembaca setia ceritaku yang loyal! Terima kasih untuk kesetiaan kalian membaca dan membagikan segala informasi yang ada di situs ini. Tetaplah membaca dan membagikannya agar saya semakin bersemangat menuliskan berita-berita dan artikel yang menarik, bernas dan menginspirasi. Salam!
============================================================================
Kita tentu sangat akrab dengan istilah “When there is a will, there is a way”, jika ada kemauan, pasti ada jalan. Sebuah niatan yang mulia dan konsisten apabila dilakukan terus-menerus, pastinya akan berbuah manis dan menggembirakan.
Setidaknya, itulah deskripsi yang bisa saya jabarkan perihal membaiknya tingkat literasi para siswa di Indonesia, khususnya anak didik yang berada pada kisaran usia 15 tahun. Lebih tepatnya lagi siswa-siswi Indonesia yang berkesempatan mencicipi salah satu ujian berskala internasional di bawah naungan organ PBB, OECD yang kita kenal sebagai PISA (Programme for International Students Assessment).
Dalam salah satu ulasan kolomnya, harian Kompas (7/12/2016) menurunkan berita yang saya anggap sangat menyejukkan sekaligus menyegarkan dahaga pendidikan negara kita. Berita yang diturunkan ibarat oase di tengah gurun pasir yang sangat terik panasnya. Judulnya “Literasi Siswa Membaik”.
Hasil survei berupa tes yang mencakup pemahaman akan sains, matematika, dan membaca ini diluncurkan di London, Inggris pada Selasa (6/12) dengan rincian sebagai berikut: sains (2012) meningkat dari 382 poin menjadi 403 poin (2015), matematika (2012) naik dari 375 poin menjadi 386 poin (2015), dan membaca (2012) beranjak 1 garis dari 396 menjadi 397 (2015). Gamblangnya, peringkat PISA 2015 Indonesia, naik!
Jika pada PISA tiga tahun sebelumnya Indonesia nyaris berada di posisi paling buncit (64 dari 65 dengan Peru di posisi “terdalam”), maka pada tahun 2015 dengan jumlah kepesertaan negara sebnyak 72, Indonesia unggul atas delapan negara, yakni Brasil, Peru, Lebanon, Tunisia, Macedonia, Kosovo, Algeria, dan Dominika. Indonesia naik 6 peringkat dibanding hasil PISA 2012.
Berkurang Gagapnya
Jika sebelumnya Victoria Fanggidae (Kompas, 2/9) dan Riduan Situmorang (Kompas, 27/9) telah membunyikan alarm tanda bahaya indeks pembangunan manusia Indonesia dan menguraikan “kegagapan” pemerintah dalam membaca fakta yang mengacu pada hasil buruk uji PIAAC 2016 dan PISA 2012, maka kali ini pemerintah sudah “cukup” berhasil mendengarkan dengan baik alarm tersebut sekaligus mampu mengurangi kegagapannya.
Sebagaimana disampaikan, salah satu alasan meningkatnya capaian kompetensi sains, matematika, dan membaca pelajar Indonesia adalah karena para gurunya sudah dibekali dengan pelatihan dan pembelajaran berbasis kemampuan berpikir tingkat tinggi (high order thinking skill/HOTS) yang memang sangat dibutuhkan dalam menjawab soal-soal PISA.
Terkait dengan hal di atas, saya berkeyakinan dari sekian banyak input yang diterima pemerintah guna perbaikan kualitas pendidikan di Tanah Air, salah satunya adalah sebagaimana yang tercantum dalam laporan terbaru OECD ( Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan) ihwal PISA pada 10 Februari 2016 lalu.
Laporan yang berjudul Low-Performing Students: Why they fall behind and how to help them succeed, memberikan kita gambaran jelas dan terukur tentang faktor-faktor penyebab mengapa seorang siswa/i gagal dalam pendidikannya dan bagaimana seharusnya para pemangku kepentingan pendidikan berupaya mengatasinya sejak awal.
Faktor-faktor tersebut dibagi dua, yaitu faktor yang berasal dari siswa sendiri yang mencakup status sosial ekonomi, latar belakang demografi, perkembangan pendidikan, dan sikap beserta tingkah laku dan faktor sekolah yang melingkupi komposisi sekolah, lingkungan belajar, dan administrasi beserta sumber daya manusia.
Langkah cepat pemerintah membaca dan memahami kekurangan-kekurangan yang ada patut kita apresiasi di tengah berbagai isu dan kabar seputar pendidikan kita yang masih belum tertata dan terdesain dengan baik.
Langkah pembenahan yang menitikberatkan pada penyiapan sumber daya manusia pendidikan patut kita acungkan jempol. Dengan catatan pemerintah dan para pihak yang berkepentingan dengan pendidikan juga harus memperhatikan karir dan kesejahteraan para guru tersebut sembari meningkatkan infrastruktur lainnya.
Selain itu, kita pun harus jujur mengakui bahwa ada cukup banyak para pelajar kita yang sudah menorehkan prestasinya di kancah internasional di luar ajang PISA ini. Dalam berbagai lomba dan olimpiade mereka kerap menyabet medali emas, perak dan perunggu. Salah satunya sebagaimana yang ditorehkan para siswa/i yang berasal dari Chandra Kumala School, Deliserdang, Sumatera Utara yang berhasil menyabet medali emas berturut-turut dalam ajang International Conference of Young Scientist 2016 dan 2017 di Rumania dan Stuttgart, Jerman.
Keberhasilan ini harus menjadi perhatian serius pemerintah sebab jika tidak maka bukan tidak mungkin talenta-talenta muda berbakat ini akan menjadi incaran perusahaan dan negara asing yang ingin memanfaatkan jasa mereka. Faktanya, sudah cukup banyak para genius Indonesia yang dibajak oleh negara lain bersebab kelalaian dan keabaian pemerintah. Fenomena yang dikenal sebagai brain-drain.
Untuk mengatasi hal ini mereka harus diberi fasilitas dan kesempatan membuktikan kepiawaian mereka sesuai bidangnya masing-masing. Tentu pemerintah pun harus membuat kebijakan yang pro pendidikan dan penelitian sebab bangsa yang unggul adalah bangsa yang kokoh dalam pendidikan dan penelitiannya.
Semoga momentum naik peringkat dalam PISA ini bisa menjadi refleksi akhir tahun yang positif bagi pendidikan Indonesia menuju pendidikan global berkualitas dunia.
Badai tak selamanya menggantung. Badai pasti berlalu. Begitupun badai literasi di negara kita yang perlahan-lahan mulai sirna berganti menjadi kilauan kecemerlangan bangsa. Semoga!