Magic adalah sains yang belum terpecahkan. Ini bukan saya yang bilang. Tapi orang lain. Siapa? Saya pun belum tahu pasti. Mungkin suatu saat nanti. Apa Anda pernah dengar pameo itu juga?
Di tengah merebaknya penularan virus novel Corona 19 (nCovid-19) di seluruh dunia saat ini, perlu kiranya kita untuk mempertimbangkan efektivitas magic (baca: magis) dalam pemberantasannya. Apalagi sampai hari ini belum ditemukan vaksin yang sahih yang bisa dipakai di seluruh dunia. Yang ada malah kegaduhan bin kebingungan di sana-sini.
Kenapa saya bilang begitu? Coba lihat sesumbarnya Donald Trump, bosnya Amerika Serikat itu, yang pernah bilang akan membayar perusahaan Jerman untuk membuat serum ataupun vaksin Corona itu khusus bagi rakyat Amerika.
Hah? Helloooowww, Trump! Kok gitu sih mainnya? Siapa sih yang tidak ingin sembuh? Masak kamu buat obat hanya untuk rakyat kamu semata? Emang kami-kami ini siapa, ya? Apa gegara America First? Tapi untunglah hal itu langsung ditentang katuanya Jerman, Ibu Angela Merkel yang baik budi, keibuan namun tegas. Dia bilang ke Trump, “Sorry ya, Trump. Germany is not for sale!” Pupus deh harapannya Uncle Trump itu.
Terang saja Trump makin sakit kepalanya, kalau memang sakit betulan soalnya dia menyuruh rakyatnya untuk tetap beraktivitas seperti biasa biar ekonomi tetap jalan sementara semua negara di dunia memerintahkan rakyatnya untuk tinggal di rumah saja dan jaga jarak. Oh iya, saya bilang sakit kepala karena angka penderita positif di negaranya sudah melampaui semua negara di dunia. Amerika jadi kampiunnya. Per Sabtu (28/3) kemarin angka penderitanya sudah tembus lebih dari 103 ribu. Dan angka kematian akibat virus tersebut sudah melebihi 2.000 orang.
Yang lain, ada banyak obat yang tengah diuji coba pemakaiannya di banyak negara. Indonesia sendiri sudah mengimpor Avigan dan Farakuin,,,eeehh, maaf Klorokuin. Belum diketahui pasti efeknya bagaimana. Namun mudah-mudahan berhasil. Tapi angka penderita positifnya sudah tembus 1.000, bahkan hampir 1.500 dengan angka kematian lebih dari 100 orang dan angka yang sembuh setengah dari yang meninggal.
Di negaranya Upin dan Ipin, Malaysia sana, WHO menunjuk mereka sebagai tempat uji coba obat Remsdevir (maaf, kalau salah menuliskannya) untuk penanganan si virus tersebut.
Sementara itu di Italia dan Spanyol angka kematiannya tercatat yang paling besar. Lebih dari 15.000 dan sepertinya belum akan mereda dalam waktu dekat. Sungguh ini suatu keadaan yang sangat mengkhawatirkan.
Sementara itu di Tiongkok, datanya menunjukkan angka penderita baru sudah nihil alias tidak ada. Yang ada adalah kasus impor. Maksudnya, kasus itu berasal dari warga non-Tiongkok. Obatnya apa? Katanya ada sebagaimana dikatakan oleh Prof Mayor Jenderal Chen Wei, seorang wanita ahli virus yang menjadi komandan penanganan virus Corona di Tiongkok sana. Hasil rapat dalam jarinan kemarin, yang tidak saya hadiri…heheh, memutuskan menyetujui pembuatan obat antivirus Covid-19. Palu diketuk. Sah. Obat segera dibuat. Kita dan bangsa-bangsa lainnya tinggal menunggu.
Tapi menunggu terus tentu tidak baik juga. Harus ada upaya membuat vaksin sendiri. Banyak negara juga melakukannya. Termasuk Indonesia. Kan kita punya tenaga ahli dan bahan serta peralatan yang cukup. Contohnya Lembaga Biologi Molekuler Eijkman itu. Yang diketuai oleh Prof Amin Soebandrio itu. Semoga hasilnya juga bisa keluar dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Terkait menunggu adalah pekerjaan yang paling membosankan, saya teringat cerita seorang teman perihal gaib atau mistis atau magic atau apalah namanya yang belum bisa dipecahkan oleh science (sains). Dia bilang penyakit apapun itu dan disebabkan oleh apapun itu, bisa dialihkan ke wadah atau tempat yang lain. Artinya, semua penyakit bisa dialihkan. Bisa dipindahkan ke tempat lain.
Caranya bagaimana? Pertama, harus ada “orang pintar” yang mampu memindahkannya. Kedua, ada ritualnya. Ada tata cara dan syaratnya, Ketiga, ada medium pemindahan. Dalam hal ini hewan. Sebutlah ayam. Dengan syarat dan ketentuan yang berlaku. Contohnya harus jantan. Warna: putih, hitam atau merah.
Dengan serangkaian proses tertentu, maka proses perpindahan penyakit pun dilaksanakan. Si sakit, dalam hal ini manusia, dipindahkan penyakitnya ke si ayam. Si sakit secara berangsur-angsur mulai sehat dan tampak lebih segar secara fisik setelah “berobat”, sementara si ayam, dalam hal ini ayam jantan putih, menjadi tempat bersarangnya sang penyakit dari manusia yang sakit tadi.
Lalu, tandanya apa? Ayam jantan ini tidak dimasukkan ke kandang alias dilepasliarkan saja. Ayam ini juga tidak akan hilang dan tidak akan dimakan oleh orang-orang yang mengetahui proses pengobatan ini. Sebab jika dicuri atau dimakan, penyakit itu akan seluruhnya berpindah ke si pencuri atau pemakan ayam tadi. Pun kalau dia tidak tahu proses pengobatan ini. Itulah risikonya. Begitulah kepercayaannya.
Kalau begitu, bagaimana cara mengetahui ciri-ciri ayam yang begituan? Lihatlah jengger ayam itu. Perhatikan baik-baik. Kalau ujung-ujung jenggernya berubah warna secara konstan kadangkala berwarna merah cerah dan di lain waktu berwarna kehitam-hitaman, maka itulah dia sang ayam “tumbal” penyakit.
Sekarang, coba lihat-lihat ayam dengan ciri-ciri fisik seperti saya sebutkan di atas di sekitar Anda. Adakah yang seperti itu?
Sebagai contoh, saya cantumkan sosok ayam yang dipercaya sedang menjadi wadah pengobatan orang lain. Fokus pada jenggernya.
Lalu, bagaimana, setujukan kita untuk memindahkan virus Corona ini ke ayam dengan cara-cara tradisional alias magis? Sebab magis adalah sains yang belum terpecahkan secara nalar. Percaya tidak percaya, ya silakan amati di sekitar Anda.