Hi, sahabat-sahabat dan partner membaca setia saya! Apa kabar semua? Tentunya sehat-sehat lah kita semua di tengah pandemi Covid-19 ini, ya!
Terima kasih untuk dukungannya terus membaca artikel dan berita-berita yang saya kirim. Teman-teman bisa memberikan komen terhadap setiap tulisan yang saya buat. Dan, tentu saja, JANGAN LUPA untuk membagikannya ke teman-teman dan grup-grup yang lain, serta ajak mereka semua untuk MENDAFTAR dan BERLANGGANAN akun ini supaya mereka juga dapat informasi menarik yang sama. Saya tunggu kabar baiknya, ya! Terima kasih.
============================================================================
“Bangsa yang abai terhadap keberlangsungan para penulisnya adalah bangsa yang tengah mempersiapkan bom waktu peradaban kehidupan.”
Ada sebuah kejutan besar di dunia tulis-menulis yang miris dan ironis di republik ini. Hal ini juga merupakan sebuah cubitan jika tak mau disebut tamparan keras bagi pemerintah. Ya, pemerintah yang berkuasa. Siapapun penguasanya. Tak terkecuali pemerintahan di bawah kendali Bapak Joko Widodo.
Agaknya baru kali ini ada seorang elite di jajaran penulis kawakan Tanah Air yang berani menolak penghargaan bergengsi dan prestisius dari pemerintah sekaliber Nobel itu. Jika pada umumnya banyak insan mendambakan meraih penghargaan atas jerih payahnya dalam bidang apapun dari pemerintah sebagai bukti kepiawaian dan kepakarannya, maka kali ini pemerintah tampaknya bertepuk sebelah tangan.
Mengapa saya sebut begitu? Tentu saja karena pemerintah berkeyakinan besar siapapun yang terpilih olehnya untuk diberikan penghargaan bertaraf nasional pasti tidak akan menolaknya. Sebab gengsinya yang luar biasa itu. Tapi apa lacur? Pemerintah terpaksa harus menelan pil pahit akibat keenakannya sendiri (onani pikiran dan asumsi) menyamaratakan semua orang.
Pemerintah mungkin baru sadar, jika memang sudah sadar dan mudah-mudahan segera sadar jika masih belum sadar, bahwa masih banyak penulis yang tidak silau akan penghargaan sekelas “Anugerah Kebudayaan dan Maestro Seni Tradisi 2019”, meskipun pada kenyataannya mereka tetap membutuhkan sejumlah pengakuan materil dan immaterial dalam aktivitas kepenulisannya.
Lain Orang, Lain Isi Kepala
Mungkin bagi sebagian orang apa yang dilakukan oleh Eka Kurniawan, sang novelis, dengan menolak penghargaan “Anugerah Kebudayaan dan Maestro Seni Tradisi 2019” bisa dimaknai sebagai hal yang menyebalkan alias sok idealis. Barangkali hal itu juga yang bersemayam di kepala orang-orang pemerintahan sana. Tapi bagi sebagian orang yang lainnya, bisa saja mereka menganggap apa yang dilakukannya adalah sebuah pembelajaran penting lainnya bagi pengambil kebijakan untuk melihat secara paripurna suatu permasalahan yang ada.
Sebab, lain orang, lain kepala, lain pula isinya. Oleh karena itu, semua kepala harus dieksaminasi secara keseluruhan untuk mengetahui apa isinya. Tidak parsial. Mengapa, misalnya, Eka Kurniawan menolak “anugerah” itu, yang jika ditimbang-timbang sebenarnya adalah setara dengan Nobel Sastra ala Indonesia? Insan mana yang tidak mau mendapatkan hasil jerih payahnya berupa penghargaan setingkat Nobel itu?
Apakah karena jumlah nominal penghargaannya yang hanya Rp 50 juta itu, yang kabarnya masih dipotong pajak lagi alias tidak bersih dibawa pulang? Saya rasa tidak. Eka Kurniawan tidak akan berada pada tahap pemikiran nominal uang semata. Dia telah melewatinya. Tapi bukan berarti pula tidak butuh uang. Siapapun tetap butuh uang selagi uang masih tetap sebagai alat tukar perekonomian.
Jika kebanyakan dari kita masih berpikir melalui kacamata kita sendiri untuk kita terapkan pada orang lain, maka seorang Eka Kurniawan telah melampauinya. Dalam artian, kacamatanya majemuk. Dia mengakomodir berbagai macam kacamata, terutama kacamata pekerja seni budaya terkhusus para penulis untuk menyikapi betapa masih minimnya perhatian dan keseriusan pemerintah dalam membangun literasi di republik ini. Meminjam istilah asing, sosok Eka Kurniawan telah mempraktikkan apa yang disebut sebagai put yourself in someone else’s shoes.
Tidak Serius
Bukti ketidakseriusan pemerintah ini sudah sangat banyak terpampang di hadapan kita. Saking banyaknya, tidak akan cukup dituliskan di tulisan yang terbatas ini satu per satu. Sebutlah sedikit di antaranya ketika salah satu ikon penulis Indonesia, Darwis Tere Liye atau lebih populer disebut Tere Liye, memutuskan untuk berhenti menulis karena potongan pajak threesome-nya (mengutip Ahmad Taufik) yang kelewat tinggi.
Fenomena ini ibarat puncak gunung es. Saya yakin banyak penulis mengalami hal yang sama. Hanya saja mereka memilih diam karena memikirkan royalti dan penghasilan mereka yang minim, dan belum bisa diandalkan untuk hidup layak serta posisi tawar yang rendah kendatipun menulis ini disebut profesi. Menyitir Dewi Lestari, ide dari sebuah tulisan hanya dihargai 10% dari 100% harga banderol buku. Dan yang lebih miris lagi adalah 10% itupun harus dipotong lagi sebesar 15% oleh negara alias potongan pajaknya menjadi supernetto.
Selain itu, adanya kasus pembakaran gedung sekolah yang dilakukan oleh Yansen Binti, anggota DPRD Kalteng dari Partai Gerindra sekaligus tokoh masyarakat setempat beberapa waktu lalu turut memvalidasi ketidakberpihakan pemerintah dan legislatif terhadap dunia pendidikan secara umum dan tulis-menulis secara khusus.
Hal ini bisa dikategorikan teror paling menakutkan dan nyata sepanjang sejarah republik ini terhadap salah satu elemen cikal-bikal melahirkan penulis-penulis andal, yaitu dunia pendidikan. Yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah mastermind-nya sendiri seorang wakil rakyat yang berkhianat terhadap konstituennya.
Ketidakberuntungan dunia kepenulisan ini makin dirunyamkan lagi oleh adanya razia buku secara sepihak oleh oknum-oknum pemerintahan dan nonpemerintahan beberapa waktu di Yogyakarta, Makassar dan beberapa tempat di Tanah Air. Sungguh betul-betul terpuruk memang nasib penulis dan karya-karya yang mereka hasilkan dengan susah payah itu. Sudahlah miskin, diteror pula lagi. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula lagi. Sial kuadrat rasanya.
Guna mengakhiri tulisan yang menjengkelkan ini, penulis ingin bertanya kepada Bapak Presiden Joko Widodo, bagaimana caranya beliau bisa memastikan program peningkatan sumber daya manusia Indonesia akan bisa tercapai dalam lima tahun ke depan manakala infrastruktur dasarnya, dalam hal ini dunia kepenulisan dan penulisnya, sendiri masih terseok-seok dan luntang-lantung tidak karuan?
Premisnya sederhana: Jika suatu bangsa ingin maju, maka seluruh warga negaranya harus rajin membaca dan menulis. Jika penulisnya tidak ada, lalu apa yang akan dibaca? Akankah tujuan mulia pemerintah itu tercapai dalam lima tahun ke depan? Akankah program pengiriman buku bulanan ke seluruh pelosok negeri berjalan lancar? Akankah tingkat literasi bangsa ini bisa terkerek naik dari angka 0,001?
Lalu, akankah pemerintah terus-menerus bertepuk sebelah tangan dengan rangkaian penolakan anugerah-anugerah lainnya?