kibrispdr.org
Dalam dunia yang dinamis ini, segala macam perubahan harus kita lakoni sebaik-baiknya. Tak terkecuali perubahan dalam hal infrastruktur energi dan kemanfaatannya bagi orang banyak. Termasuk juga pemanfaatannya bagi dunia pendidikan (sekolah). Terkhusus di era pembelajaran virtual (PJJ) saat ini.
Sebagaimana kita ketahui bersama, Indonesia memiliki banyak sumber energi alternatif “hijau” yang bisa dimanfaatkan. Sebutlah semisal energi panas bumi, energi udara, dan energi surya.
Khusus energi surya, sekarang ini pemakaiannya gencar digaungkan oleh berbagai pihak, tak terkecuali pemerintah. Hal ini sangat wajar dan memungkinkan bersebab posisi Indonesia sebagai salah satu negara tropis dengan curahan intensitas matahari yang cukup tinggi.
Aplikasi pemanfaatan energi surya ini sudah mulai terlihat di berbagai sektor. Salah satunya dalam sektor keagamaan, dalam hal ini lembaga Gereja Katedral Jakarta. Secara resmi, institusi keagamaan ini sudah menggunakan energi surya dalam praktiknya sehari-hari.
Apa yang sudah diterapkan oleh Gereja Katedral Jakarta seyogianya diikuti oleh berbagai elemen yang ada. Pun begitu dengan masyarakat luas, baik di kota maupun desa. Terkait lembaga pendidikan, langkah serupa juga sangat bijaksana untuk diterapkan oleh berbagai sekolah yang ada di Tanah Air, terlepas sekolah umum ataupun berbasis keagamaan (negeri dan swasta).
Medcom.id
Ada beragam keunggulan pemakaian energi surya dalam kehidupan kita sehari-hari, antara lain tidak menimbulkan polusi (udara dan suara), terbarukan, ramah lingkungan, nihil karbondioksida, hemat biaya serta yang paling utama kita bisa memerolehnya secara gratis.
Sebagai ilustrasi ringan dari Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), sebuah panel surya yang berkapasitas 1.500 Wp atau setara dengan 1.300VA dengan model pemasangan on grid (50% terkoneksi PLN) berbiaya Rp 30 juta bisa menghemat biaya bulanan listrik sebesar Rp 270.000.
Jadi, jika awalnya seorang pelanggan listrik yang berlangganan daya sebesar 1.300 VA dengan total jumlah pemakaian daya rata-rata sebanyak 250 kwh, maka pelanggan tersebut akan dikenakan biaya bulanan sebesar Rp 366.750, di mana biaya per kwh listriknya adalah Rp 1.467.
Tagihan listrik sebesar Rp 366.750 tersebut akan berkurang signifikan jika sang pelanggan memutuskan menggunakan energi surya dengan skema di atas. Rinciannya adalah sebagai berikut: Rp 366.750-Rp 270.000 = Rp 96.750. Hal tersebut dihitung hemat bersebab semua peranti pendukungnya, termasuk panel dan baterai/converter-nya, dijamin pemakaiannya selama selama 25 tahun.
Solusi “Hijau” PJJ
Selain itu, pemakaian energi listrik berbasis surya (matahari) ini juga bisa menjadi jalan keluar bagi daerah-daerah yang masuk kategori 3T (tertinggal. terdepan, dan terluar) yang belum dialiri listrik di Indonesia. Termasuk juga bagi sekolah-sekolah yang tidak ada akses listrik PLN dan internetnya.
Menurut data Kemendikbud, sebagaimana penulis kutip dari CNN Indonesia (26/7/2020) terdapat 8.522 sekolah yang belum teraliri listrik di Indonesia. Dan sebagian besarnya mencakup sekolah dasar, dengan rincian sebanyak 6.857 SD, 1.123 SMP, 229 SMA dan 313 SMK.
Sementara itu, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menuturkan di tahun 2021 ini terdapat 11.988 madrasah yang juga belum teraliri listrik (Kompas, 19/1/2021).
Begitu juga dengan informasi mengenai jumlah sekolah yang belum dapat layanan internet. Ada ribuan jumlahnya. Menurut laman Kementerian Agama, terdapat 13.000 madrasah yang nihil internet. Sementara itu, Kemendikbud menyebut terdapat 32.914 sekolah dasar yang belum terakses internet, 7.178 sekolah menengah pertama, 1.144 SMA dan 923SMK.
Secara garis besar, sekolah yang belum teraliri listrik pastilah mengalami masalah dengan akses internet. Sebab keduanya secara tidak langsung saling berkelindan. Sederhananya, semua menara telekomunikasi (BTS=base transceiver station) memerlukan daya listrik untuk operasionalnya.
Dari data di atas, terlihat betul dua masalah mendasar bagi kelancaran dan kesuksesan program pembelajaran jarak jauh (PJJ) di Tanah Air, terkhusus di daerah tertinggal, terluar dan terdepan, yaitu ketersediaan listrik dan akses internet yang merata.
Oleh karena itu, pemanfaatan energi “hijau”, dalam hal ini energi surya, sebagai alternatif sumber daya energi listrik di berbagai kawasan di Indonesia, termasuk daerah 3T, wajib disegerakan. Hal ini juga sejalan dengan program pemerintah untuk memasyarakatkan aplikasi energi alternatif yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, di mana salah satu tujuan utamanya adalah mengurangi dampak negatif perubahan lingkungan yang kian menghantui planet Bumi kita.
Jika diterapkan, sekolah telah mengambil porsinya sebagai wadah edukasi penggunaan energi “hijau” (terbarukan) sekaligus untuk menyukseskan pembelajaran jarak jauh (PJJ) di masa-masa sulit sekarang ini. Pemakaian energi surya ini bisa menjadi transformasi permanen energi listrik pasca-pandemi Covid-19.
Tentang pembiayaan, sekolah bisa mengoptimalkan dana biaya operasional sekolah (BOS), menggunakan bantuan donatur ataupun pembiayaan gotong-royong. Atau berbagai skema pembiayaan lainnya. Prinsipnya, jika ada kemauan, pasti ada jalan.
Hal tersebut harus ditenpuh agar kemerdekaan dan kebahagiaan belajar dapat tercapai maksimal. Agar pembelajaran benar-benar “hijau.”
Green energy for green school, why not?
Tribun solo