Ambiguitas Guru P3K dan SPK
Jalan menuju kesejahteraan yang hakiki agaknya masih cukup panjang untuk dilalui para guru di Tanah Air.
#Indonesian version#
Hallo, para pembacaku yang setia dan baik budinya! Apa kabar? Semoga kita semua sehat-sehat saja dan tetap dapat beraktivitas dengan baik dan lebih baik lagi.
Kali ini saya tampilkan tulisan opini saya seputar permasalahan guru P3K dan SPK (satuan pendidikan kerja sama). Silakan baca dan semoga bernas dan bermanfaat bagi kita semua. Salam!
++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
BEM FKIP Untan
Jalan menuju kesejahteraan yang hakiki agaknya masih cukup panjang untuk dilalui para guru di Tanah Air. Masih saja terdapat hambatan-hambatan yang bersifat ambigu/irasional untuk meraihnya. Ironisnya, rintangan-rintangan tersebut malah datang dari kebijakan pemerintah yang “setengah hati.”
Kebijakan-kebijakan yang setengah hati tersebut tentu saja menimbulkan kemirisan di hati dan sanubari kita. Kemirisan yang berujung pada kekaburan status dan kesejahteraan guru. Status dan kesejahteraan yang sejatinya memang menjadi tolok ukur sosial di masyarakat.
Berbicara status yang miris tersebut, setidaknya ada dua jenis status guru yang menjadi pokok ulasan di tulisan ini, yaitu guru P3K dan guru SPK. Di mana letak kemirisan mereka? Baiklah akan saya urai satu per satu. Saya mulai dengan guru P3K dulu.
Tersiar kabar, Januari tahun ini pemerintah telah meluncurkan program Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) bagi guru. Tujuan program ini sebenarnya bagus, yaitu ingin memperbaiki status dan, tentunya, kesejahteraan para guru honorer negeri ataupun swasta umum yang ada di Indonesia.
Program ini dibuat karena banyaknya guru-guru non-PNS di Indonesia yang masih tidak jelas nasibnya. Tidak jelas di sini dalam artian kepastian status, karir, kesejahteraan dan jaminan hari tua serta pensiunnya. Sebutlah semisal guru-guru honor di sekolah-sekolah negeri dan guru-guru swasta biasa. Jumlahnya jutaan.
Menurut data Kemendikbud tahun 2018, terdapat 3,017 juta guru di seluruh Indonesia. Rinciannya adalah guru bukan PNS, baik di sekolah negeri maupun swasta, berjumlah 1,5 juta dan guru PNS di sekolah negeri maupun swasta sebanyak 1,4 juta. Dari data tersebut, terdapat 1,5 juta guru non-PNS yang “terlunta-lunta” nasibnya karena belum menjadi guru PNS. (detik.com)
Mendikbud (saat itu) Muhadjir Effendy mengatakan terdapat kekurangan tenaga guru PNS sebesar 988.133 di sekolah negeri. Kekurangan tersebut sebenarnya telah coba diakomodir dengan perekrutan guru PNS pada tahun 2020. Namun jumlahnya masih belum mencukupi.
Karena belum memadai, maka pemerintah coba menutupinya dengan melakukan terobosan pengangkatan guru dengan skema P3K. Untuk tahun 2021 ini direncanakan akan diangkat sebesar 1 juta guru. Bersebab alokasi guru P3K-nya besar, maka rekrutmen untuk guru ASN (PNS) pun ditutup. Difokuskan untuk P3K.
Tentu dalam proses pengangkatannya ada beberapa syarat penting yang harus dipenuhi calon pelamar, di antaranya berusia maksimal 59 tahun, sudah mengajar minimal 2 tahun dan terdata di Dapodik (kalau belum mengajar sudah lulus PPG dibuktikan dengan sertifikat pendidik), dan terbuka bagi tenaga honorer K-2. Tentang masa kontraknya sendiri berjangka, mulai dari 1 tahun hingga lima tahun. Dan bisa diperpanjang sesuai kebutuhan masing-masing daerah.
Menurut pemerintah, gaji dan fasilitas guru P3K ini sama seperti guru PNS sebab kedua-duanya adalah sama-sama aparatur sipil negara (ASN). Namun, masih kata pemerintah juga, ada bedanya. Yaitu, guru P3K tidak akan mendapatkan tunjangan jaminan hari tua dan dana pensiun. Dua hal krusial yang justru menjadi incaran dan alasan banyak orang berlomban menjadi PNS guru.
Jika ditelaah, kebijakan kontrak dan peniadaan tunjangan jaminan hari tua dan pensiun ini menimbulkan keresahan, ketidaknyamanan dan laku diskriminatif di antara sesama guru. Sungguh tidak elok rasanya.
Nalar.id
Saya tidak paham rasionalitas apa yang dipakai di balik kebijakan guru P3K itu. Sebatas keterbatasan finansial negara? Jika benar para guru P3K ini adalah pegawai pemerintah, kenapa harus dikontrak? Setahu saya, semua jenis pekerjaan yang dikontrak itu bersifat parsial, lebih condong ke pekerjaan-pekerjaan di dunia swasta. Bukan pemerintahan.
Kemudian, jika tidak ada jaminan hari tua dan pensiun, apa gunanya menjadi pegawai pemerintah atau aparatur sipil negara? Bukankah hal itu yang dikejar-kejar semua pelamar CPNS? Keabadian kerja (baca: status), kesejahteraan dan jaminan hari tua serta pensiun adalah daya tarik terbesar menjadi abdi negara.
Nah, berbicara seputar masalah kontrak, di satu sisi guru P3K ini lebih “buruk” statusnya dibanding guru-guru swasta yang sudah menjadi guru tetap yayasan. Dalam hal ini, guru-guru swasta tersebut tidak lagi resah memikirkan masa depan, karir dan (mungkin) kesejahteraannya. Mereka juga sudah dilindungi oleh jaminan hari tua dan pensiun. Tentu hal ini akan menjadi bola panas bagi perekrutan guru skema P3K ini. Saya tidak tahu pasti berapa banyak yang akan mengikuti seleksinya.
SPK
Lalu, kemirisan apa yang terpatri di organ SPK ini? SPK adalah akronim dari Satuan Pendidikan Kerja Sama. Penamaan ini diberikan bagi sekolah-sekolah tertentu yang telah memenuhi kualifikasi tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah. Secara umum, sekolah SPK ini menjalankan kurikulum ganda dalam operasionalnya berupa kurikulum nasional dan asing.
Secara teoretis, sekolah-sekolah SPK ini relatif memiliki standar kesejahteraan lebih dibanding sekolah-sekolah swasta umumnya. Dan untuk bisa masuk ke sekolah yang berlabel SPK ini pun tidak mudah. Ada banyak persyaratan dan seleksi yang harus ditempuh aplikan guru.
Yang menjadi keresahan kami sebagai guru yang mendidik di sekolah berstatus SPK ini adalah dengan ditiadakannya insentif sertifikasi (profesi) dari pemerintah dengan alasan yang tidak jelas dan terkesan dipaksakan. Disinyalir hal ini dikarenakan semua guru SPK dianggap sudah sejahtera. Kebijakan tersebut tentu memengaruhi para guru yang telah tersertifikasi dan yang sedang menjalani proses sertifikasi. Bentuk lain perlakuan diskriminatif juga terjadi dalam konteks ini.
Harian Nasional
Kebijakan peniadaan insentif profesi bagi guru-guru SPK ini tertuang dalam Pasal 6 Peraturan Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Nomor 6 Tahun 2020. Disebutkan, tunjangan profesi ini dikecualikan bagi guru bukan PNS yang bertugas di satuan pendidikan kerja sama (SPK).
Adapun yang menjadi rujukan kriteria guru non-PNS penerima tunjangan profesi ini bersumber pada Perdirjen GTK Nomor 5745/B.B1.3/HK/201, yang berbunyi:
Berstatus sebagai guru tetap yayasan di satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat atau Guru Bukan PNS di satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah yang tercatat pada Data Pokok Pendidikan (Dapodik), Bertugas pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah/masyarakat dibuktikan dengan SK Pengangkatan oleh pejabat pembina kepegawaian atau penyelenggara satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat sesuai dengan kewenangannya, kecuali bagi: Guru yang bertugas di Satuan Pendidikan Kerja sama.
Bunyi peraturan-peraturan di atas tersebut pun terkesan asal dan kental nuansa diskriminatifnya bagi sesama guru, karena tanpa penjelasan yang rinci mengapa para guru di SPK dikecualikan untuk mendapat tunjangan profesi. Dilihat dari sudut pandang tugas dan kewajiban, kami pun mengemban hal yang sama dengan guru-guru PNS atau non-PNS di luar SPK yang mendapatkan hak mereka terkait tunjangan profesi. Apa yang salah dengan sekolah dan guru SPK?
Lalu, bagaimana ini Pak Menteri Nadiem yang terhormat? Jika ambiguitas ini terus berlanjut, bagaimana bisa para generasi muda yang ada akan tertarik untuk memasuki fakultas keguruan dan ilmu pendidikan untuk mengabdikan dirinya mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai guru di masa depan?