Mudah-mudahan harga minyak bisa turun sebentar lagi…
Pagi itu langit cerah. Berwarna biru dan putih. Birunya tampak dominan. Angin pun berhembus sepoi-sepoi. Keadaan tampak lengang. Sunyi.
Memang keadaan ini sesuatu yang baru. Setidaknya bagi tempat itu. Di kota aku lahir. Biasanya kota itu selalu terlihat macet. Lalu-lalang kendaraan dan manusia tak terperi. Mobilitas kehidupan begitu dinamis. Pergerakan nyaris tiada henti. Selalu saja ada irama kehidupan yang berbunyi. Tak peduli sekecil atau sebesar apapun volumenya.
Namun, keadaan lengang kali ini bukan tanpa sebab. Bukan karena adanya Car Free Day atau karena ada hajatan pejabat publik kelas atas. Bukan juga karena adanya kesadaran nasional tentang menjaga keseimbangan lingkungan. Keseimbangan hidup antara manusia dan alam. Bukan, bukan karena itu.
Akan tetapi, melalui siaran televisi, radio, surat kabar, dan Internet diketahui pula bahwasanya keadaan serupa pun berlaku di banyak di tempat di seluruh dunia. Nyaris di seluruh belahan Bumi. Bahkan cukup banyak negara dan kota-kota di dunia yang tampak lumpuh total. Nyaris tiada pergerakan sebagai penanda kehidupan. Seperti kota mati saja.
Sampai detik ini, belum ada satupun manusia yang mampu menemukan jalan keluarnya dengan pasti. Semuanya masih tetap berusaha. Tak satupun manusia di abad modern ini yang bisa menduga akibatnya akan sangat merugikan seperti ini. Semua lapisan masyarakat di seluruh dunia terdampak. Baik secara sosial, kultural, politik, bahkan ekonomi. Semua terganggu oleh mewabahnya makluk super kecil kasat mata itu.
Semuanya kelimpungan. Masyarakat berpikir keras bagaimana menghadapinya. Para pemimpin dunia sibuk memikirkan jalan terbaik bagi rakyatnya masing-masing dalam menghadapi situasi krisis itu.
“Dol, sudah susah kali kurasa hidup ini. Sudah hampir sebulan ini pendapatanku sebagai tukang ojek online berkurang drastis,” ujar Poltak, sang sopir ojek.
“Betul, Tak. Aku juga dah sangat kesusahan ini. Usaha jualan baju tempatku bekerja penghasilannya juga sangat berkurang. Sepi pembeli. Malah kami pun banyak yang sudah dirumahkan. Gajiku pun sudah dipotong separoh ini,” ujar Bedol, sang pramuniaga toko pakaian.
Meskipun situasi sulit, namun kehidupan harus tetap dilanjutkan. Tak peduli bagaimana caranya. Asal masih tetap halal. Begitulah pikiran yang berkecamuk di kepala mereka masing-masing. Ya, hidup memang harus tetap diperjuangkan. Bagaimana pun caranya.
Pertarungan mempertahankan hidup memang terus berlanjut. Karena situasi belum juga membaik, pemerintah mengeluarkan sejumlah paket bantuan nontunai bagi kalangan yang terdampak langsung. Kalangan seperti sopir/pengemudi ojol, tukang becak, kuli bangunan, pekerja harian lepas lainnya, buruh pabrik hingga karyawan swasta yang berharap gaji dari majikan yang juga terimbas krisis ini.
Ya, sang virus yang belakangan dinamakan Covid-19 --- sebelumnya dikenal sebagai virus Wuhan karena bermula dari Wuhan, kota di Propinsi Hubei, Tiongkok sana, telah mengacaukan tatanan dan pranata sosial, kultural, politik dan ekonomi dunia. Semua benar-benar terganggu. Semua harus berbenah dan beradaptasi dengan situasi yang tak pernah terbayangkan sebelumnya ini.
Keadaan ini menyita sebagian besar perhatian dunia. Semua energi tercurahkan untuk memecahkan masalah rumit ini. Masalah yang semula dianggap sebelah mata oleh salah satu pemimpin besar di dunia ini. Pemimpin negara adidaya itu. Kini dia menyesal dan meralat ucapannya. Agak terlambat memang, sebab korban terus bergelimpangan di negaranya. Makin besar hari demi hari. Diduga akan lebih besar dari negara manapun yang terinfeksi.
Sementara itu, di sisi lain, hampir berbarengan dengan merebaknya pandemi Covid-19 itu, sekumpulan negara elite pengekspor minyak tengah berunding untuk menaikkan harga minyak di tengah-tengah menurunnya permintaan dunia yang menyebabkan harga merosot.
Perundingan tak berjalan mulus. Ada banyak aral melintang. Yang terjadi sebaliknya, cekcok di antara mereka. Yang paling besar jatah minyaknya diminta mengurangi produksinya, sebaliknya yang paling kecil tidak mau menurunkannya. Akhirnya, sang gajah membanting harga sekaligus malah menaikkan produksinya. Alhasil, harga minyak turun drastis. Dari 50 dollar/barel menjadi 30 dollar/barel. Di negaranya Paman Sam, harganya sudah jauh lebih murah lagi, sekitar 20 dollar per barel. Harga minyak turun drastis. Barangkali sudah bisa harganya Rp 5.000/liter atau bahkan lebih murah lagi.
Sang gajah mengamuk lantaran negara lain di luar kumpulan negara pengekspor minyak itu, yang juga sebenarnya negara besar, tak mau diminta untuk menurunkan produksi mereka. Tak ada jalan lain. Tindakan emosional pun ditempuh. Sebab sang gajah itu juga terancam kehilangan pendapatan yang lebih besar jika tidak melakukannya.
Namun, tak ada yang mempertanyakannya. Tak ada yang beraudiensi ke pemerintah untuk meminta menurunkan harga BBM. Semuanya adem-adem saja. Mungkin masih berpikir harganya di seputaran 50 dollar/barel. Semua fokus ke virus Corona hingga turunnya harga minyak dunia pun luput dari perhatian. Harga yang juga harusnya turun di dalam negeri.
“Tak, aku dengar harga minyak dunia sudah turun drastis, ya! Tapi kok pemerintah belum menurunkannya ya di negara kita ini? Bukan apa, biar agak longgar dulu pengeluaran kita yang makin tergerus ini,” gerutu Bedol tak karuan.
“Ahhh, yang benar, Dol. Dari mana kau tahu. Gak ada kayaknya beritanya di tivi,” balas Poltak tak kalah sebalnya.
“Iya, benar. Aku ada baca kemarin di koran luar negeri. Aku juga ada nonton di Youtube. Hehehehe…dikit-dikit, kan aku ngerti Inggris juga, lohhh. Sisa-sisa belajar di sekolah kemarin,” ujar Bedol sambil tersenyum kecut. Kecut karena dia juga tidak habis pikir kenapa harga minyak belum diturunkan juga.
Ya, kalau harga minyak diturunkan, paling tidak bisa sedikit membantu mengurangi kesusahan penduduk miskin seperti mereka dan mungkin juga masyarakat yang lain. Bisa memberikan sedikit udara segar bagi paru-paru ekonomi mereka.